I. PENDAHULUAN
Di zaman sekarang orang Islam tidak hanya mendiami benua Afrika dan Asia, tetapi di seluruh dunia terdapat kaum Muslimin, ada yang sebagai musafir, tetapi banyak pula sebagai penetap. Mereka tinggal bukan saja di daerah tropis, tetapi juga di daerah sub tropis, bahkan ke daerah dekat kutub pun ada orang Islam yang sampai. Suatu soal yang banyak menimbulkan pertanyaan ialah cara sembahyang dan berpuasa di daerah yang jauh letaknya di sebelah utara dan di sebelah selatan khatulistiwa itu. Karena disana malam dan siang tidak senantiasa hampir sama panjangnya seperti di negeri kita, yaitu masing-masing kira-kira 12 jam. Di sana ada siang yang panjangnya sampai 20 jam, atau malahan sampai 24 jam, bahkan ada siang hari yang berlaku terus menerus selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan.[1]
Oleh karena itu bagi umat Islam yang tinggal di daerah abnormal ibadah shalat dan puasanya terdapat berbagai macam pendapat para ulama yang Insya Allah akan dikemukakan dalam makalah ini.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Cara Menentukan Waktu Shalat dan Puasa?
B. Bagaimana Cara Shalat dan Puasa di Daerah Abnormal?
III. PEMBAHASAN
A. Cara Menentukan Waktu Shalat dan Puasa
Shalat dan puasa merupakan ibadah mahdhah, artinya ibadah murni yang dibaktikan untuk mendapatkan keridaan Allah semata. Karena itu, kalau kita benar-benar mengharapkan ibadah shalat dan puasa kita diterima oleh Allah, maka kita harus menjalankan ibadah ini sesuai pedoman dan tuntunan yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, tanpa menambah atau pun mengurangi sama sekali.
Di dalam al-Qur’an dan Sunnah terdapat nash al-Qur’an dan Sunnah yang sharih (clear statement) yang bersifat qath’i (sudah kuat petunjuknya), yang menerangkan adanya kaitan/hubungan antara waktu perintah melaksanakan shalat dan puasa dengan gerakan/perjalanan matahari (lokasi atau posisinya)[2].
1. Ketentuan-ketentuan waktu shalat
Al-Qur’an surat al-Isyra ayat 78
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur Ìôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% Ìôfxÿø9$# c%x. #Yqåkô¶tB ÇÐÑÈ
Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”[3]
Hadits Nabi
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرٍو,عَنِ النَّبِيِّ ص.م قَالَ: وَقْتُ الظُّهْرِمَالَمْ يَحْضُرِالْعَصْرُ. وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَالَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ,وَوَقْتُ الْمَغْرِبِ مَالَمْ يَسْقُطْ ثَوْرُالشَّفَقِ,وَوَقْتُ الْعِشَاءِ اِلَى نِصْفِ الَّليْلِ,وَوَقْتُ الْفَجْرِمَالَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ
Artinya: Dari Abdullah bin Umar ra, ia mengatakan: “Rasulullah saw menetapkan waktu dzuhur jika tergelincir matahari dan terus sehingga bayangan seseorang sama dengan tinggi badannya selama belum tiba waktu ashar dan waktu ashar selama belum kuning cahaya matahari dan waktu maghrib selama belum terbenam mega merah dan waktu isya’ sampai tengah malam dan waktu subuh dari terbit fajar selama belum terbit matahari.” (HR. Muslim)[4]
a. Waktu shubuh
Dimulai dengan tampaknya fajar di atas ufuk sebelah timur dan berakhir dengan terbitnya matahari, atau sebagai difirmankan Allah dalam al-Qur’an: sejak dari “idbaarannujum” (menghilangnya atau meredupnya bintang-bintang; surat at-Thuur 52: 49) hingga “thuluu’isysyams” (terbit matahari; surat Qaaf 50: 39).
Dalam ilmu falak saat tampaknya fajar itu didefinisikan dengan posisi matahari sebesar 20 di bawah ufuk. Dalam menentukan jumlah 20 ini masih ada perbedaan pendapat diantara ahli-ahli hisab, karena ada yang menetapkan 18 , ada yang 19 , ada pula yang 21 .
b. Waktu zuhur
Ditandai oleh tergelincirnya matahari pada tengah hari tepat. Dalam al-Qur’an difirmankan Allah: “liduluukisysyams” (sejak tergelincir matahari; surat al-Isra 17: 78). Ilmu falak menggunakan istilah: “matahari berkulminasi” yaitu bila matahari mencapai kedudukannya yang tertinggi di langit dalam perjalanan harinya. Dalam almanak-almanak ada kalanya digunakan istilah: “meridian passage”, artinya: matahari “melintasi meridian”.
c. Waktu ‘ashar
Difirmankan oleh Allah: “qabla lighurrub” (sebelum terbenam matahari; surat Qaaf 50: 39). Dalam hadits Nabi masuknya waktu ‘ashar dinyatakan lebih terperinci.
Pada waktu matahari melintasi meridian, jadi pada awal waktu zuhur, sebuah tongkat yang dipancangkan secara tegaklurus ke dalam tanah, akan membuat bayang-bayang, yang panjangnya ditentukan oleh tingginya matahari sewaktu berkulminasi itu. Makin tinggi kedudukan matahari makin pendek bayang-bayang tersebut, makin rendah kedudukan matahari, makin panjang ia.
Setelah tergelincir, matahari meneruskan perjalanannya arah ke barat, dan bayang-bayang tongkat tadi makin bertambah panjang. Bila panjang bayang-bayang itu sudah bertambah dengan 1- kali tinggi tongkat itu sendiri, masuklah waktu ‘ashar.
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa bayang-bayang itu harus bertambah dengan 2-kali tinggi tongkat itu sendiri, barulah waktu ‘ashar masuk. Dalam uraian-uraian selanjutnya kita akan menggunakan pandangan yang terakhir ini. Pertimbangannya ialah, oleh karena kita akan meninjau daerah-daerah kutub, dimana matahari pada awal zuhur tidak begitu tinggi kedudukannya di langit. Dan dalam keadaan yang demikian bayang-bayang memanjang lebih cepat daripada kalau matahari pada tengah hari berkedudukan tinggi di langit, seperti di negeri kita. Bila buat syarat masuknya waktu ‘ashar kita tetapkan bertambahnya bayang-bayang tongkat dengan 1-kali tingginya tongkat itu sendiri, waktu ‘ashar masuk akan terlalu cepat. Akibatnya waktu zuhur menjadi terlalu pendek dan waktu ‘ashar menjadi terlalu panjang.
d. Waktu Maghrib
Waktu maghrib masuk bila matahari terbenam; dalam al-Qur’an difirmankan Allah: “zulafam minal lail” ( bagian permulaan malam; surat Hud 11: 114). Dalam ilmu falak peristiwa matahari terbenam diperinci sebagai keadaan, bila tepi piringannya sebelah atas terletak pada ufuk mar’i, jadi titik pusatnya berkedudukan sebanyak satu jari-jari piringan matahari di bawah garis ufuk mar’i. Selanjutnya ada pengaruh atmosfer bumi, yang seakan-akan “mengangkat” gambaran matahari, sehingga kedudukannya yang tampak kepada kita menjadi lebih tinggi daripada kedudukannya yang sebenarnya. Peristiwa ini dinamakan refraksi atau pembiasan. Akhirnya, oleh ketinggian mata kita diatas permukaan bumi, ufuk mar’i menjadi merendah, keadaan yang mana dalam ilmu falak dinamakan kerendahan ufuk.
e. Masuknya waktu ‘isya
Ditandai oleh hilangnya syafak atau warna merah pada awan bagian langit sebelah barat. Keadaan yang demikian terjadi, bila titik pusat matahari berkedudukan beberapa derajat di bawah ufuk. Serupa dengan timbulnya fajar, jumlah ini ditetapkan secara agak berbeda-beda oleh para ahli hisab; ada yang menetapkan 16 , ada yang 17 , ada yang 18 .[5]
2. Menentukan waktu imsak dan iftar
Di negara seperti Indonesia yang terletak di daerah khatulistiwa, perbedaan malam dan siang tidak banyak, maka penentuan waktu mulai menahan atau melakukan puasa (imsak) sesuai dengan bunyi ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187 yaitu dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari.[6]
Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 187
z`»t«ø9$$sù £`èdrçų»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tF2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKt ãNä3s9 äÝøsø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsø:$# ÏuqóF{$# z`ÏB Ìôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@ø©9$#
Artinya: “Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”[7]
B. Cara Shalat dan Puasa di Daerah Abnormal
Ketetapan hukum Islam yang diperoleh dari nash al-Qur’an dan Sunnah yang qath’i dan sharih adalah bersifat universal dan fix, dan berlaku untuk seluruh umat manusia sepanjang masa. Namun, sesuai dengan asas-asas hukum Islam yang fleksibel, praktis, tidak menyulitkan, dalam batas jangkauan kemampuan manusia, sejalan dengan kemaslahatan umum dan kemajuan waktu zaman, dan sesuai pula dengan rasa keadilan, maka ketentuan waktu shalat dan puasa berdasarkan al-Qur’an surat al-Isra ayat 78 dan al-Baqarah ayat 187 tidak berlaku untuk seluruh daerah bumi, melainkan hanya berlaku di zone bumi yang normal, yang perbedaan waktu siang dan malamnya relatif kecil, yakni di daerah-daerah khatulistiwa (equator) dan tropis (daerah khatulistiwa sampai garis paralel 45 dari garis Lintang Utara dan Selatan).[8]
Adapun waktu shalat dan puasa bagi masyarakat Islam yang tinggal di daerah di luar daerah khatulistiwa dan tropis, yakni di daerah-daerah di luar garis paralel 45 dari garis Lintang Utara dan Selatan yang abnormal itu, karena perbedaan siang dan malamnya terlalu besar terutama di daerah sekitar kutub utara/selatan yang 6 bulan terus menerus dalam keadaan siang dan 6 bulan berikutnya dalam keadaan malam, adalah mengikuti waktu shalat dan puasa di daerah normal yang terdekat, yakni pada garis paralel 45 dari garis Lintang Utara dan Selatan.[9]
1) Pendapat ulama tentang cara shalat dan puasa di daerah abnormal
Majelis Majma` Al-Fiqh Al-Islami pada jalsah ketiga hari Kamis 10 Rabiul Akhir 1402 H bertepatan dengan tanggal 4 Pebruari 1982 M. telah menerbitkan ketetapan tentang masalah ini. Selain itu juga ada ketetapan dari Hai`ah Kibarul Ulama di Mekkah al-Mukarramah Saudi Arabia nomor 61 pada tanggal 12 Rabiul Akhir 1398 H. Kedua majelis ini membagi masalah ini menjadi tiga kasus yaitu:
a. Wilayah yang mengalami siang selama 24 jam dalam sehari pada waktu tertentu dan sebaliknya mengalami malam selama 24 jam dalam sehari. Dalam kondisi ini, masalah jadwal puasa dan juga shalat disesuaikan dengan jadwal puasa dan shalat wilayah yang terdekat dengannya dimana masih ada pergantian siang dan malam setiap harinya.
b. Wilayah yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh. Dalam kondisi ini, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat `isya`nya saja dengan waktu di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa (mulai start puasa), disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega itu.
c. Wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya. Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Sedangkan bila berdasarkan pengalaman berpuasa selama lebih dari 19 jam itu menimbulkan madharat, kelemahan dan membawa kepada penyakit dimana hal itu dikuatkan juga dengan keterangan dokter yang amanah, maka dibolehkan untuk tidak puasa. Namun dengan kewajiban menggantinya di hari lain. Dalam hal ini berlaku hukum orang yang tidak mampu atau orang yang sakit, dimana Allah memberikan rukhshah atau keringan kepada mereka.[10]
2) Pendapat Lain:
Namun ada juga pendapat lain seperti apa yang dikemukakan oleh Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqo rahimahullah. Alasannya, apabila perbedaan siang dan malam itu sangat mencolok dimana malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau sebaliknya, dimana siang hanya terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan? Terbayangkah seseorang melakukan puasa di musim panas dari terbit fajar hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit. Atau sebaliknya di musim dingin, dia berpuasa hanya selama 15 menit ? Karena itu pendapat yang lain mengatakan bahwa di wilayah yang mengalami pergantian siang malan yang ekstrim seperti ini, maka pendapat lain mengatakan:
a. Mengikuti Waktu HIJAZ
Jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di kutub utara dan selatan. Merujuk pada fatwa Majlis Fatwa Al-Azhar Al-Syarif, menentukan waktu berpuasa Ramadhan pada daerah-daerah yang tidak teratur masa siang dan malamnya, dilakukan dengan cara menyesuaikan/menyamakan waktunya dengan daerah dimana batas waktu siang dan malam setiap tahunnya tidak jauh berbeda (teratur). Sebagai contoh jika menyamakan dengan masyarakat mekkah yang berpuasa dari fajar sampai maghrib selama tiga belas jam perhari, maka mereka juga harus berpuasa selama itu. Adapun untuk daerah yang samasekali tidak diketahui waktu fajar dan maghribnya, seperti daerah kutub (utara dan selatan), karena pergantian malam dan siang terjadi enam bulan sekali, maka waktu sahur dan berbuka juga menyesuaikan dengan daerah lain seperti diatas. Jika di Mekkah terbit fajar pada jam 04.30 dan maghrib pada jam 18.00, maka mereka juga harus memperhatikan waktu itu dalam memulai puasa atau ibadah wajib lainnya Fatwa ini didasarkan pada Hadis Nabi SAW menanggapi pertanyaan Sahabat tentang kewajiban shalat di daerah yang satu harinya menyamai seminggu atau sebulan atau bahkan setahun. “Wahai Rasul, bagaimana dengan daerah yang satu harinya (sehari-semalam) sama dengan satu tahun, apakah cukup dengan sekali shalat saja”. Rasul menjawab “tidak… tapi perkirakanlah sebagaimana kadarnya (pada hari-hari biasa)”. [HR. Muslim] Dan demikianlah halnya kewajban-kewajiaban yang lain seperti puasa, zakat dan haji.[11]
b. Mengikuti Waktu Negara Islam Terdekat
Karena untuk melaksanakan kewajiban agama tak ada alternatif lain yang memang tidak sukar dilaksanakan dan dapat mendatangkan faedah yang diharapkan yaitu memperkirakan hari, malam dan bulan di daerah-daerah kutub itu dengan waktu di negeri-negeri yang terdekat yang mempunyai waktu-waktu yang biasa, yang malam dan siangnya nampak perbedaannya sehingga shalat dan puasa dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan hikmah kewajiban-kewajiban tersebut dengan tidak menimbulkan kepayahan dan menghabiskan tenaga.[12] Pendapat yang mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat ini, dimana di negeri ini bertahta Sultan / Khalifah muslim. Namun kedua pendapat di atas masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan. Karena keduanya adalah hasil ijtihad para ulama.
c. Negeri Dekat Kutub
Indonesia terletak di daerah khatulistiwa sehingga panjang hari tidak terlalu bervariasi sepanjang tahun. Lamanya berpuasa hanya bervariasi antara 13 – 14 jam. Untuk wilayah di lintang tinggi (dekat daerah kutub), variasi panjang hari akan sangat mencolok. Musim panas merupakan saat siang hari paling panjang dan malam paling pendek. Sebaliknya terjadi pada musim dingin. Panjang hari ini berpengaruh pada lamanya berpuasa. Puasa pada bulan Juni, seperti pada tahun 1983, merupakan puasa terpanjang bagi wilayah di belahan bumi utara, tetapi terpendek bagi wilayah di belahan bumi selatan. Sedangkan puasa pada bulan Desember – Januari, seperti terjadi tahun 2009 sampai 2001, merupakan puasa terpendek bagi wilayah di belahan bumi utara, tetapi terpanjang bagi wilayah di belahan bumi selatan. Puasa pada bulan Juni atau Desember merupakan saat ekstrim yang perlu dibahas. Selain karena lamanya puasa menjadi sangat panjang atau sangat pendek, bisa terjadi pula tidak adanya tanda awal fajar atau tidak adanya tanda maghrib. Sedangkan batasan waktu puasa menurut dimulai pada awal fajar dan diakhiri pada (awal) malam (atau maghrib). Pada keadaan ekstrim seperti itu, di daerah lintang tinggi bisa terjadi continous twilight, yaitu bersambungnya cahaya senja dan cahaya fajar. Akibatnya awal fajar tidak bisa ditentukan dan ini berarti sulit memastikan kapan mesti memulai puasanya. Bisa juga terjadi malam terus sehingga awal fajar dan maghrib untuk memulai dan berbuka puasa tidak bisa ditentukan.
Keadaan tersebut terjadi di negara-negara yang sejajar dengan Belanda, Jerman, Inggris, Polandia, Rusia atau bahkan yang lebih utara, seperti Finlandia, Norwegia, Swedia, Denmark, yaitu pada waktu siang akan lebih lama di musim panas, dan jika musim dingin, waktu siang lebih singkat daripada waktu malam. Sehingga waktu puasa atau ibadahnya menyesuaikan waktu setempat, pada saat musim panas mereka berpuasa sekitar 18 jam lebih dari mulai jam 02.00 sd 21.00 dan pada saat musim dingin mereka hanya berpuasa selama 7 jam, dari mulai jam 04.00 sd 14.00.[13]
Semua ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah hasil ijtihad dari para ulama berdasarkan nash-nash al-Quran dan Sunnah serta qaidah-qaidah yang dijadikan tuntunan dalam ijtihad mereka. Adapun dalil-dalil syar’i yang memberikan rukkhshah bagi masyarakat Isalam yang tinggal di daerah-daerah yang abnormal untuk mengikuti waktu shalat dan puasa dari daerah normal yang terdekat, antara lain sebagai berikut:
1. QS. Al-Haj ayat 78:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ....
“Dan Allah tidak menjadikan untuk kamu dalam agama untuk kesempitan.” (QS. al-Hajj:7)
Dan QS. Al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا .....
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S al-Baqarah: 286)
2. Hadits Nabi Riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah ra.:
اَلدِّيْنُ يُسْرٌ وَلَنْ يُغَالِبَ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ.
“Agama Islam itu mudah, tiada seorang pun yang akan mengalahkan/menguasai agama, bahkan agamalah yang mengalahkan ia.”
Dan Hadits Nabi Riwayat al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, dan Ahmad:
يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا
“Hendaklah kamu permudah, janganlah kamu persulit. Dan hendaklah kamu gembirakan, jangan kamu bikin mereka lari menjauhi.”
3. Kaedah-kaedah hukum Islam:
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ a.
“Kesulitan itu membawa kemudahan.”
اَلضَّرُوْرَةُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ b.
“Keadaan darurat (terpaksa) itu membolehkan hal-hal yang terlarang.”
مَا أُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا c.
“Hal-hal yang diperbolehkan karena keadaan terpaksa itu diperkirakan menurut kadar/seperlunya saja.”
4. Asas-asas hukum Islam yang fleksibel, praktis, tidak sulit dan menyulitkan, dalam batas jangkauan manusia yang normal, sejalan dengan kemaslahatan umum dan kemajuan zaman, dan sesuai pula dengan rasa keadilan. [14]
IV. ANALISIS
Cara menentukan waktu shalat dan puasa sudah dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunnah (al-Isyra ayat 78, al-Baqarah ayat 187 dan HR Muslim), yaitu dengan berdasarkan gerakan/perjalanan matahari (lokasi atau posisinya). Ketentuan ini hanya berlaku pada daerah-daerah yang normal saja yaitu daerah yang memiliki perbedaan siang dan malam secara seimbang. Dan tidak diberlakukan di daerah yang abnormal yaitu daerah yang antara siang dan malam tidak bisa dibedakan atau bisa dibedakan akan tetapi perbedaannya terlalu jauh.
Perintah melaksanakan shalat dan puasa berlaku untuk semua umat manusia di dunia ini, tidak hanya ditujukan pada orang-orang yang tinggal di daerah yang normal saja, akan tetapi juga di daerah yang abnormal. Negara yang termasuk daerah abnormal tersebut antara lain Belanda, Jerman, Inggris, Polandia, Rusia atau bahkan yang lebih utara, seperti Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Denmark.
Shalat dan puasa merupakan kewajiban yang harus kita laksanakan, bagaimana caranya kita harus bisa melaksanakan kewajiban tersebut walaupun tidak mudah bagi kita untuk melaksanakannya. Karena Islam juga tidak menyulitkan umatnya dalam hal ibadah. Banyak alternatif-alternatif dan rukhsah/keringanan yang dapat digunakan untuk memudahkan ibadah tersebut. Misalnya saja pada kasus daerah yang memiliki waktu siang lebih panjang dari malamnya, dimana itu pada waktu ramadhan dan seseorang divonis dokter bahwa dia akan sakit jika melaksanakan puasa tersebut, maka diperbolehkanlah dia tidak puasa, akan tetapi harus menggantinya dilain waktu. Perlu diingat bahwa rukhsah/keringanan ini diberlakukan bagi orang yang benar-benar punya udhur tertentu, tidak diperbolehkan kita yang sehat tanpa ada udhur tidak melaksanakan puasa pada saat itu dan berniat menggantinya diwaktu yang siangnya lebih pendek dari malamnya.
Untuk melaksanakan ibadah seperti shalat dan puasa, daerah-daerah yang abnormal sering mengalami suatu masalah. Yang mana di daerah tersebut sulit atau bahkan tidak bisa menentukan waktu shalat dan puasa di daerahnya tersebut. Hal ini dikarenakan daerahnya mengalami pergantian siang dan malam yang tidak seimbang. Terbit dan terbenamnya matahari tidak dapat dibedakan.
Karena sulitnya menentukan waktu shalat dan puasa di daerah abnormal, dan dikaitkan dengan bahwa pada dasarnya Islam itu tidak memberatkan serta untuk kemaslahan umat, maka Jumhur ulama berpendapat bahwa cara pelaksanaan shalat dan puasa di daerah tersebut adalah dengan mengikuti waktu hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan patokan mereka yang ada di kutub utara dan selatan, atau mengikuti waktu Negara Islam terdekat yang mana di negara tersebut bertahta Sultan / Khalifah muslim.
V. KESIMPULAN
1. Cara menentukan waktu shalat adalah waktu shubuh, dimulai dengan tampaknya fajar di atas ufuk sebelah timur dan berakhir dengan terbitnya matahari. Waktu zuhur, ditandai oleh tergelincirnya matahari pada tengah hari tepat. Waktu ‘ashar , sebelum terbenam matahari. Waktu Maghrib, waktu maghrib masuk bila matahari terbenam. Masuknya waktu ‘isya, ditandai oleh hilangnya syafak atau warna merah pada awan bagian langit sebelah barat. Menentukan waktu imsak dan iftar yaitu dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari.
2. Cara shalat dan puasa didaerah abnormal menurut ulama adalah dengan mengikuti waktu hijaz atau mengikuti waktu Negara Islam terdekat, yang mana di negara tersebut bertahta Sultan / Khalifah muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, Cet. 4 Jakarta: CV Ruhama, 1993.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009.
Djambek, Saadoe’ddin, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Muslim, Imam Abi Husain bin Al-Hajjaj Al-Qusairiy An-Naisaburi, Sahih Muslim, Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2008.
Sjaltout, Sjaich Mahmoud, Fatwa-Fatwa, Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Zuhdi, Masjuk, Masail Fiqiyah, Jakarta: CV Haji Samagung, 1994.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), hlm. 290
[4] Imam Abi Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusairiy An-Naisaburi, Sahih Muslim, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 254
[6] Zakiah Daradjat, Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental, Cet. 4 (Jakarta: CV Ruhama, 1993), hlm. 56-57
[14] Masjfuk Zuhdi, Op.Cit., hlm. 281-282
as-Salam A'laik...
BalasHapustrima kasih sdari q...
salam sejahtera selalu...
LANJUTKAN !!!! tradisi Islammu...OCRE..
'alaikumsalam,,,
BalasHapuskembali kasih...
siiip!!!
Salamun alaik juga, jazakillah infox, follow ane juga ya di suryamadu.blogspot.com
BalasHapussubhanallah, artikelnya sangat bermanfaat teh...
BalasHapusterimakaish artikelnya sangat bagus, menambah wawasan saya tentang jam sholat dan pembagiannya
BalasHapus