Selasa, 14 Mei 2013

NU & Muhammadiyah



PAHAM-PAHAM AGAMA ISLAM DI INDONESIA
(MUHAMMADIYAH DAN NU: JAMA’AH, JAM’IYYAH)

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :  Sejarah Islam di Indonesia
Dosen Pengampu : Maftukhah, M. Si



Disusun Oleh :
Ani Mutmainnah                     (103111108)
Rochmatun Naili                     (103111131)

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
PAHAM-PAHAM AGAMA ISLAM DI INDONESIA
(MUHAMMADIYAH DAN NU: JAMA’AH, JAM’IYYAH)
I.         PENDAHULUAN
Beberapa organisasi Islam di Indonesia telah memiliki andil yang cukup besar terhadap proses pengembangan agama Islam. Termasuk dalam pembentukan budaya Islam dalam masyarakat luas. Peran tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Paham-paham Islam di Indonesia merupakan suatu perkumpulan terstruktur yang mempunyai misi sebagai pembenahan pemahaman, kepercayaan ataupun agama untuk menjadikan ke depan lebih baik. Paham-paham Islam di Indonesia banyak macamnya. Diantaranya yaitu Muhammadiyah dan NU. Antara keduanya memiliki visi, misi, cara pandang dan tujuan yang berbeda satu sama lain. Walaupun begitu, mereka tidak bertentangan dengan landasan pokok atau syari’at agama Islam.
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara lebih jelas mengenai dua paham Islam tersebut (Muhammadiyah dan NU) sebagai gerakan pembaharu Islam.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.       Bagaimana Sejarah Berdirinya Muhammadiyah dan NU?
B.       Apa Saja Bentuk-Bentuk Pemikiran Muhammadiyah dan NU?
C.       Apa Tujuan dan Visi Misi Terbentuknya Muhammadiyah dan NU?
D.       Bagaimana Sikap politik Muhammadiyah dan NU?

III.   PEMBAHASAN
A.  Sejarah Berdirinya Muhammadiyah dan NU
1.         Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H., bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M di Yogyakarta oleh KH. A. Dahlan beserta sahabat dekat dan murid-muridnya. Organisasi ini diberi nama Muhammadiyah yaitu semua orang yang beragama Islam dan memahami bahwa Nabi Muhammad adalah hamba yang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang benar-benar masyarakat utama.[1] Organisasi ini didirikan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.[2]
Latar belakang berdirinya Muhammadiyah yaitu:
Kelahiran Muhammadiyah tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an dan karena itu pula seluruh geraknya tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prisip ajaran Islam. Segala yang dilakukan oleh Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya, tak  dapat dilepaskan dari ajaran-ajaran Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam wujud yang riel, konkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai “rahmatan lil ‘alamin”.[3] 
Ada 2 (dua) faktor yang menjadi penyebab berdirinya gerakan ini:
a.    Faktor Subyektif
Faktor Subyektif ialah pelakunya sendiri. Dan ini merupakan faktor sentral. Faktor yang lain hanya menjadi penunjang saja. Yang dimaksud disini ialah, kalau mau mendirikan Muhammadiyah maka harus dimulai dari orangnya sendiri. Kalau tidak, maka Muhammadiyah bisa dibawa kemana saja.
b.    Faktor Obyektif
Faktor obyektif yang dimaksud ialah keadaan dan kenyataan yang bekembang saat itu. Hal ini hanya merupakan pendorong lebih hangat dari permulaan yang telah ditetapkan dan hendak dilakukan subyeknya.
Faktor berdirinya bersifat internal dari umat Islam. Maksudnya kenyataan bahwa ajaran Islam yang masuk ke Indonesia kemudian menjadi agama umat Islam di Indonesia sebagai akibat perkembangan Islam pada umumnya ternyata sudah tidak utuh dan tidak murni lagi. Sementara faktor eksternalnya adalah bahwa pemerintah Belanda merupakan keadaan obyektif eksternal umat Islam pertama yang melatar belakangi berdirinya Muhammdiyah.[4]
2.    Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M. atas  kesadaran dan keinsyafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan batin, saling bantu-mambantu dan kesatuan merupakan prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.[5]
Nahdlatul Ulama artinya Kebangkitan Ulama didirikan di Surabaya sebagai reaksi terhadap berdirinya gerakan reformasi dalam Islam di Indonesia, dan mempertahankan salah satu mazhab empat dalam masalah yang berhubungan dengan fiqih (hukum Islam). Dalam hal i’tiqad berpegang pada aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tokoh pendiri NU adalah KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisyri Syamsuri, KH. Ma’shum Lasem dan sebagai ketua pertamanya adalah KH. Hasyim Asy’ari.[6]
Lapangan usaha NU meliputi bidang-bidang pendidikan, dakwah, dan sosial terutama penyiaran agama Islam menurut faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. NU memiliki pondok pesantren besar yang menyebar di Indonesia, seperti Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Asembagus Situbondo, Pesantren Kajen Pati, Pesantren Lasem Rembang, Pesantren Kalibeber Wonosobo, Pesantren Buntut Cirebon, Pesantren Cipasung Tasikmalaya dan lain-lain. Disamping pesantren pendidikan yang dikelola NU adalah sekolah-sekolah formal sejak MI, MTs, MA, juga SD, SMP, SMA, sampai Perguruan Tinggi.
NU pernah terjun dibidang politik, setelah keluar dari partai politik Masyumi (1955). Dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, peran NU cukup besar. Bahkan diantara para tokoh NU ada yang diakui sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI antara lain: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Zainal Mustafa, KH. Zainul Arifin. Dalam perjuangan politik, NU akhirnya menyatakan kembali ke Khithah 26, yaitu meninggalkan perjuangan politik praktis. Tokoh-tokoh NU antara lain: KH. Dr. Idham Khalid (pernah ketua DPR-MPR), dan KH. Abdurrahman Wahid, pernah menjadi presiden RI ke-4.[7]
B.  Bentuk-Bentuk Pemikiran Muhammadiyah dan NU
1.    Bentuk-Bentuk Pemikiran Muhammadiyah
Kategorisasi pemikiran Muhammadiyah mengelompokkan pemikiran Muhammadiyah ke dalam jenis pemikiran yang bersifat filosofis dan teoritis.
Pemikiran Muhammadiyah dapat disusun secara garis besar filosofi keperjuangan Muhammadiyah dalam lima prinsip. Pertama; tauhid, kedua; ibadah, ketiga; kemasyarakatan/jama’ah, keempat; ittiba’, kelima; tajdid dan keenam; organisai. Dengan tajdid dimaksudkan sebagai penempatan rasio atau akal atau arro’yu sebagai alat dalam memahami dan merealisasikan ajaran Islam.
Berdasarkan prinsip tersebut di atas, maka gerak dakwah Muhammadiyah dalam semua aspek kehidupan sosial harus merupakan pelaksanaan dan penjabaran enam prinsip itu. Oleh karena itu penataan organisasi Muhammadiyah harus berdimensi tauhid, sebagai ibadah dalam konteks hidup sosial/jama’ah yang dikembangkan sesuai dengan pola sunnah rasul.
Oleh karena itu kehidupan sosial selau berubah setiap saat, maka penerapan prinsip di atas dikembangkan melalui pertimbangan rasional dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula halnya dengan pengembangan amal usaha Muhammadiyah yang meliputi berbagai aspek kehidupan sosial.[8]
Selanjutnya, jenis pemikiran yang kedua yang bersifat teoritis mengandung beberapa prinsip strategi dan teori keperjuangan Muhammadiyah melalui gerakan dakwah dan tajdid. Pemikiran ini disebut teoritis dan strategis karena merupakan teoritisasi norma yang tercantum dalam pemikiran jenis pertama dengan realitas hidup obyektif.
Sesuai dengan posisi pemikiran jenis kedua tersebut, maka pemikiran jenis kedua bersifat kondisional yang lahir sebagai jawaban terhadap realitas kehidupan sosial yang selalu berubah. Secara garis besar prinsip strategi keperjuangan Muhammadiyah terdiri dari beberapa konsep. Pertama, pendalaman akidah bagi pimpinan dan anggota. Kedua, memperluas wawasan pemahaman Islam. Ketiga, korektif dan musyawarah. Keempat, pengembangan keterbukaan dan kemerdekaan berpikir secara rasional. Kelima, dakwah Islam merupakan konsep umum pengembangan tata kehidupan Islam. Keenam, politik dalam pengertiannya yang luas merupakan sub-sistem dari konsep dan gerakan dakwah Islam. Ketujuh, penertiban administrasi dan organisasi. Kedelapan, profesionalisasi dan spesialisasi sebagai metode pembagian kerja dan tugas dalam gerakan dakwah. Kesembilan, peningkatan mutu kehidupan sosial dan ekonomi anggota serta warga masyarakat antara lain dilakukan melalui peningkatan mutu amal-usaha Muhammadiyah di bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik. Kesepuluh, ukhuwah-islamiyah sebagai prinsip hubungan kemasyarakatan.[9]
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dapat dipahami dari dua segi: pertama dapat diartikan bahwa gerakan Muhammadiyah harus berciri/ bersifat Islam. Seperti kedisiplinannya dalam menepati waktu. Kedua, dapat diartikan menggerakkan Islam, menjadikan Islam ini bergerak (dinamis) tidak diam (statis) sehingga adanya Islam dapat dirasakan oleh semua orang, tidak hanya orang Muhammadiyah saja, tetapi juga mendirikan tempat- yang bermanfaat lainnya seperti mendirikan sekolah, dan rumah sakit.
Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah berjuang dalam bidang masyarakat, bekerja dan bergerak ditengah masyarakat dalam melaksanakan dakwah Islam yang berprinsip pada Amar Ma’ruf nahi Munkar  dalam arti yang sebenarnya dan seluas-luasnya untuk menggerakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat yang mutamaddin, yang adil makmur serta diridhai Allah.[10]
2.    Bentuk-Bentuk Pemikiran NU
Sejak awal pendiriannya NU merupakan organisasi yang bermotif dan berlandaskan keagamaan yang spesifik dengan haluan Ahl-Sunnah wa al-Jama’ah. Oleh karena itu segala sikap, perilaku, dan karakter perjuangannya akan selalu diukur berdasarkan norma dan prinsip ajaran agama Islam yang dianut. Prinsip-prinsip ajaran (ideologi) yang dianutnya menjadi tuntutan atau pedoman bagi praktik-praktik keagamaan maupun dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan di kalangan NU, yang pada gilirannya akan membentuk karakteristik tersendiri dalam perjalanan kehidupan NU, serta membedakannya dengan organisasi keagamaan yang lain.[11] Adapun prinsip-prinsip ajaran yang memberikan nuansa spesifik pada NU dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.    Paham NU dalam bidang keagamaan
Pikiran Nahdlatul Ulama dalam bidang keagamaan secara ringkas dapat dibagi dalam tiga bidang, yaitu: bidang aqidah, fiqh dan tasawuf.
Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada tahun 1926 adalah Islam atas dasar Ahlus sunnah wal jama’ah. Adapun faham ahlus sunnah wal jama’ah yang dianut oleh NU adalah faham yang dipelopori oleh Abul Hasan Al- Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al- Maturidi.[12] Faham ini menjadi cita-cita kelahiran, menjadi pedoman dalam perjalanan kehidupan NU, menjadi landasan perjuangan yang senantiasa dipegang teguh dalam mengembangkan Islam di Indonesia.[13]
Dalam bidang fiqh, dalam rangka mengajarkan agama Islam NU menganut dan mengikuti produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu madzhab empat sebagai konsekuensi dari menganut faham ahlus sunnah wal jama’ah. Walaupun demikian tidak berarti NU tidak lagi menganut ajaran Rasulullah, sebab keempat madzhab tersebut berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah di samping ijma’ dan qiyas sebagai sumber pokok Islam.[14]  
Faham NU dalam bidang tasawuf mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh Imam Al-Junaid Al Bagdadi dan Imam Al-Ghazali. Imam Al-Junaid Al Bagdadi adalah salah seorang ulama sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di Irak sedang Imam Al-Ghazali adalah ulama besar yang berasal dari Persia.Untuk kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental dan kesadaran batin yang benar dalam beribadah bagi warga NU, maka pada tahun 1957 para tokoh NU membentuk suatu badan Jam’iyah al-Thariqah al-Muqtabarah. Badan ini merupakan wadah bagi warga NU dalam mengikuti ajaran tasawuf.[15]
Dalam bidang filsafat NU juga menganut ahli filsafat Islam yaitu Al-Ghazali. Karena beliau pandai berfilsafat Islam dan sepaham dengan pemikiran NU, maka NU juga menganut Al-Ghazali dalam hal pemikiran filsafatnya.
2.    Faham NU dalam bidang kemasyarakatan
Sikap NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan faham keagamaan yang dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat: tawasuth dan i’tidal, tasammuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar. Sikap ini harus dimiliki baik oleh aktifis NU maupun segenap warga dalam berorganisasi dan bermasyarat.[16]
a.    Sikap Tawasuth dan I’tidal. Tawasuth artinya tengah, sedang I’tidal artinya tegak. Sikap Tawasuth dan I’tidal maksudnya sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah tengah kehidupan bersama.
b.    Sikap Tasammuh maksudnya adalah NU bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan terutama hal-hal yang bersikap furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
c.    Sikap Tawazun yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyerasikan khidmad kepada Allah SWT, khidmad kepada sesama manusia serta kepada lingkungannya.
d.   Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Warga NU diharapkan mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan sesama, serta mencegah semua hal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.[17]
3.    Pola pikir NU
Dalam NU dikenal sumber hukum Islam itu ada empat, yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’, Qiyas. Selain empat sumber hukum Islam tersebut, NU juga mengacu kepada lima pokok tujuan syar’iyah, yang dikemukakan oleh oleh Imam As Sathibi, yaitu melindungi: Agama, jiwa, keturunan/kehormatan, harta, dan akal sehat. Ciri lain dalam metode berfikir NU adalah mengacu kepada kaidah-kaidah fiqh.[18]
C.     Tujuan Muhammadiyah dan NU
1.      Tujuan dan Visi Misi Pendirian Muhammadiyah
Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid) pemahaman agama. Adapun yang dimaksud dengan pembaharuan oleh Muhammadiyah ialah pembaharuan dalam arti mengembalikan keasliannya kemurniannya, dan pembaharuan dalam arti modernisasi. Sekarang ini usaha pembaharuan Muhammadiyah secara ringkas dapat dibagi ke dalam tiga bidang, yaitu: bidang keagamaan, bidang pendidikan, dan bidang kemasyarakatan.
a.    Bidang keagamaan
Pembaharuan dalam bidang keagamaan ialah memurnikan kembali dan mengembalikan kepada keasliannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan agama baik yang menyangkut aqidah (keimanan) ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai dengan aslinya, yaitu sebagaimana diperintahkan oleh Allah swt dalam al-Qur’an dan dituntunkan oleh Nabi Muhammad saw lewat sunnah-sunnahnya.
b.    Bidang pendidikan
Bagi Muhammadiyah, pendidikan mempunyai arti penting. Karena melalui bidang inilah pemahaman tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke generasi. Pembaharuan pendidikan meliputi dua segi. Yaitu segi cita-cita dan segi teknik pengajaran. Dari segi cita-cita, yang dimaksudkan KH. Ahmad Dahlan ialah ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas dalam pandangan dan faham masalah ilmu keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Adapun teknik, lebih banyak berhubungan dengan cara-cara penyelenggaraan pengajaran.
c.    Bidang kemasyarakatan
Di bidang sosial dan kemasyarakatan, usaha yang dirintis oleh Muhammadiyah yaitu didirikannya rumah sakit, poliklinik, rumah yatim-piatu, yang dikelola melalui lembaga-lembaga dan bukan secara individual sebagaimana dilakukan orang pada umumnya.[19]
2.      Tujuan dan Visi Misi Pendirian NU
Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat, serta untuk memepersatukan langkah para ulama dan para pengikut-pengikutnya dalam melakuka kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan martabat manusia.
NU dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiyar yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas NU. Inilah yang kemudian disebut Khitthah Nahdlatul Ulama.[20]
 NU didirikan sebagai Jam’iyyah Diniyyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan). Jam’iayyah ini dibentuk untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya. Kata ulama dalam rangkaian Nahdlatul Ulama tidak selalu berarti NU hanya beranggotakan Ulama tetapi memiliki maksud bahwa Ulama mempunyai maksud kedudukan istimewa didalam NU, karena baliau adalah pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Nahdlatul Ulama mempunyai dua wajah:
Pertama, wajah Jam’iyyah (NU jam’iyyah). Yaitu sebagai organisasi formal struktural yang mengikuti mekanisme organisasi modern seperti memiliki pengurus, anggota, iuran, rapat-rapat resmi, keputusan-keputusan resmi dan lain-lain.[21]
Kedua, wajah jama’ah (NU jama’ah). Yaitu kelompok ideologis kultural yang mempunyai pandangan, wawasan keagamaan dan budaya ala NU. Bahkan mereka tidak mau dikatakan bukan orang NU. Mereka tersebar dalam berbagai kelompok kegiatan, seperti jama’ah yasinan, tahlilan, wali murid madrasah NU, jama’ah mushalla dan sebagainya. Anehnya mereka tidak mudah diatur sebagai jam’iyyah NU.[22]
Kedua macan kelompok tersebut, merupakan potensi bagi organisasi ini. Masing-masing harus diurus secara baik dan tepat. Bahkan idealnya jam’iyyah NU dapat menjadi organisasi kader dengan melakukan langkah-langkah taktis seperti:
a.         Tertib administrasi dan organisasi yang mantap, mulai dari pendaftaran anggota, mutasi, proses pembentukan pengurus dan sebagainya.
b.        Pembinaan odeologi dan wawasan yang mumpuni.
c.         Disiplin operasional dan langkah-langkah perjuangan.
Sedangkan sebagai jam’ah NU, mereka diharapkan menjadi pendukung masal bagi gagasan, sikap, langkah amaliah organisasi dan sebagainya, meskipun keberadaan mereka tidak terdaftar sebagai warga jam’iyyah NU.[23]
D.    Sikap politik Muhammadiyah dan NU
1.      Sikap Politik Muhammdiyah
Sikap dan pandangan politik Muhammadiyah dirumuskan dalam pernyataan bahwa; Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang menempatka kehidupan manusia dan masyarakat sebagai sasaran dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Kegiatan politik menurut pandangan Muhammadiyah adalah salah satu aspek dari kehidupan manusia danmasyarakat tersebut. Berdasarkan pandangannya tersebut sikap politik Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi dua bagian.
Pertama, ketika Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) belum melakukan fusi dalam PPP, Muhammadiyah menyatakan bahwa Parmusi adalah salah satu proyek amal usaha Muhammadiyah. Berdasarkan hal tersebut Muhammadiyah secara aktif mengambil peranan dalam pembinaan dan pengembangan Parsumi.
Sikap demikian itu dinyatakan oleh pernyataan Muhammadiyah bahwa seluruh anggota Muhammadiyah harus merasa bertanggungjawab terhadap perkembangan Parmusi. Oleh karena itu dalam menghadapi Pemilu 1971 Muhammadiyah menginstruksikan seluruh warga Muhammadiyah agar memenangkan Bulan Bintang (dhi Parsumi) (BSM no. 35/III/70 hlm 4 dan 6; BSM no. 36/III/70 hlm. 4 dan 6; BSM no. 44/IV/71 hlm. 2-4).
Pandangan dan sikap politik Muhammadiyah tersebut di atas merupakan landasan dan pengarah tindakan politiknya. Sesuai dengan sikap pemerintah yang menempatkan Muhammadiyah sebagai ormas yang mempunyai fungsi politik, maka sejak tahun 1966 Sidang Takwir 1968 menugaskan kepada Majlis Hikmah agar mengarahkan anggota Muhammadiyah yang duduk di lembaga legislatif agar bergabung ke dalam fraksi Parmusi (BSM no. 8/I/68).
Kedua, sikap Muhammadiyah tersebut kemudian berubah ketika lahirnya PPP sejak tahun 1975 sebagai tindak lanjut UU no.3/1975. Berdasarkan pandangannya tersebut Muhammadiyah mengambil kebijaksanaan untuk memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk atau tidak kepada partai atau golongan politik lainnya. Demikian pula dalam memilih salah satu partai atau golongan politik peserta Pemilu dengan cacatan sesuai dengan aspirasi perjuangan Muhammadiyah (BMR no.93/94 th 1982 hlm.8).[24]
Pandangan politik Muhammadiyah tersebut timbul sebagai akibat semakin kendornya fungsi kontrol Muhammadiyah terhadap parmusi dan masuknya berbagai kader Muhammadiyah dalam tubuh Golkar (Mulkhan 1989). Hal itu telah menimbulkan konflik intern di berbagai daerah Muhammadiyah dan berkembangnya sikap pemerintah yang tidak menguntungkan Muhammadiyah sendiri. Berdasarkan pandangan Muhammadiyah tersebut di atas, ST 1968 menetapkan pelarangan rangkap jabatan dalam politik (Parsumi) dan Muhammadiyah sebagai upaya untuk menempatkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah (Laporan kep. ST 1968).[25]
2.      Sikap politik NU
Ada tiga model politik yang selama ini dilaksanakan NU, yaitu politik kenegaraan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. Dari tiga politik itu, politik kekuasaan (praktis) menempati kedudukan paling rendah. Di kalangan NU ada asumsi, politik kerakyatan dan kenegaraan akan mendapatkan puncak pada peraihan politik kekuasaan.
Secara historis, kelahiran NU dibidani Hadratus Syeh Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama terkemuka lain, tahun 1926. Salah satu tujuannya untuk melindungi praktik dan pemikiran kegamaan muslim timur tengah, khususnya arab saudi, yang puritanistik. Dari sini bisa disimpulkan, pendirian NU bukan untuk tujuan politik kekuasaan, tetapi politik (keagamaan) kerakyatan. Maka, bagi umat Islam Indonesia yang menginginkan pelaksanaan praktik dan pemikiran keagamaan dekat dengan tradisi lokalnya, kehadiran NU dinilai memeberi perlindungan. Bila ini bisa disebut tindakan politik kerakyatan maka politik jenis inilah yang patut disebut tingkatan politik tertinggi NU. Politik kenegaraan belum muncul karena saat itu (1926) dikursus tentang negara belum  ada.[26]
Posisi NU ketika berpolitik secara formal tampaknya bisa dikategorikan sebagai  lebih eksklusif, dan menjadikan orang-orang NU tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan politiknya sendiri. Wadah politik dan hubungan sosial dalam wadah itu jelas sekali menunjukkan wataknya yang patronatif, yang sekaligus mengekspresikan pola hubungan sosial yang terbangun mapan dalam komunitas NU. Peran para tokohnya dalam politik sangat dominan sementara jama’ahnya diorganisir dalam wadah NU kemudian diarahkan untuk memilih partai politik yang dibangun dan dikendalikan oleh para tokohnya itu. Kondisi seperti ini berlangsung baik pada saat NU bergabung dalam partai Masyumi, partai NU sendiri, maupun berada dalam PPP, sehingga jelas yang diuntungkan secara berkelanjutan adalah para tokohnya.[27]
Seiring kompleksitas perkembangan politik Indonesia, perjalanan politik NU juga berkembang. NU mulai bersentuhan dengan politik kenegaraan (kebangsaan), terutama menjelang dan pasca kemerdekaan. Persentuhan ini merupakan pengaruh pergerakan nasionalisme dibeberapa negara yang bergerak menuju kemerdekaan. Konstribusi politik NU yang paling jelas adalah dukungan Wahid Hasyim, wakil NU pada PPKI, untuk tidak mencamtumkan piagam Jakarta di dalam dasar Negara kita.

IV.   ANALISIS
Dalam perkembangannya, Islam yang berkembang di Indonesia mengalami kelunturan tentang ke ontetikan Islam itu sendiri. Dengan hal tersebut di Indonesia membentuk suatu organisasi yang pada dasarnya yaitu mempertahankan agama Islam yang murni seperti ajaran Islam pada waktu dibawa Rasulullah SAW. Di antara paham-paham agama Islam di Indonesia tersebut yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Dilihat dari kondisi sekarang, Muhammadiyah dan NU seolah-olah memiliki perbedaan yang menjadikan masyarakat membeda-bedakan dan tidak ada kesatuan antara mereka. Hal yang sering diperselisihkan tersebut di antaranya masalah bacaan qunut dalam shalat subuh, kata sayyidina dalam sholawat, jumlah rakaat dalam shalat tarawih, dan lain-lain. Padahal pada dasarnya mengenai aqidah antara Muhammadiyah dan NU itu sama, yaitu mereka sama-sama berdasarkan al-Qur’an dan Hadits. Persoalan yang membedakan mereka sangatlah tipis, hanya soal syari’at, tatanan dan aturan pelaksanaan syari’atnya saja yang beda. Atau dengan kata lain, persoalan yang membedakan mereka adalah cara-nya mencapai Dasar hukum Al-qur'an dan Hadist tersebut.
Paham Muhammadiyah dan NU mempunyai ciri khas tersendiri dalam ajarannya, namun pada dasarnya mereka tetap mempertahankan agama Islam yang murni. Muhammdiyah dan NU merupakan 2 organisasi yang di sahkan oleh pemerintah sejak mereka lahir sampai sekarang ini tidak sepert paham-paham yang lain. Hal ini terbukti dari ke eksisan Muhammadiyah dan NU yang tidak ada penyimpangan agama Islam dalam ajarannya. Mereka tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadis dalam mencari solusi tentang masalah keagamaan, termsuk juga masalah hukum fiqh.
Kalau Muhammadiyah mengambil dasar hukum didahului dengan melihat Al-qur'an dan Hadist dulu, apakah ada dalilnya, kalau tidak ada barulah menkaji dan menganalogikan dengan dalil yang dekat dengan persoalan itu. Berbeda dengan NU, Kalau ada persoalan di kaji dulu masalah itu dan kemudian dicari dalil hukumnya dari berbagai tokoh ulama atau kyai, baru kemudian dilihat ke Al-qur'an atau Hadist, tetapi kalau di buku-buku karangan kyai atau Ulama sudah cukup kadang tidak terus mencari Al-qur’an dan Hadist.
Kalau secara pergaulan dan cara kesaharian orang-orang NU dan Muhammadiyah, NU lebih terkesan tradisional dan Muhammadiyah terkesan Modern. Secara organisatoris, Muhammadiyah lebih banyak hidup dan besar di kota-kota, dan banyak membuat Amal Usaha seperti:
1.     Pendidikan diantaranya: Sekolah Modern baik ditingkat TK, SD, MI, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
2.   Kesehatan: Rumah Sakit, Balai Pengobadan, Poliklinik, RUmah bersalin, Apotik daan lainya.
3.     Keuangan dan Ekonomi diantaranya BMT, Bank Syariah, Amal Usaha Ekonomi, Koperasi.
4.      Sosial diantaranya Lembaga DIskusi dan lain sebagainya
Sedangkan NU lebih berkembang di Desa, dan banyak membuat Amal Usaha Pendidikan seperti Pondok Pesantren, Sekolah MI, MTs, MA, Perguruan Tinggi, Asrama-asrama santri, Koperasi Santri dan Usaha amal Usaha lain.

V.      KESIMPULAN
Paham-paham agama Islam di Indonesia yang paling terkenal adalah Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 M yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan. Jenis pemikiran Muhammadiyah bersifat filosofis dan teoritis. Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid) pemahaman agama.
NU berdiri pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M pendirinya yaitu KH. Hasyim Asy’ari. NU merupakan organisasi yang bermotif dan berlandaskan keagamaan yang spesifik dengan haluan Ahl-Sunnah wa al-Jama’ah. Tujuan berdirinya NU yaitu untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat, serta untuk memepersatukan langkah para ulama dan para pengikut-pengikutnya.
Posisi NU ketika berpolitik secara formal tampaknya bisa dikategorikan sebagai  lebih eksklusif, dan menjadikan orang-orang NU tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan politiknya sendiri. Wadah politik dan hubungan sosial dalam wadah itu jelas sekali menunjukkan wataknya yang patronatif, yang sekaligus mengekspresikan pola hubungan sosial yang terbangun mapan dalam komunitas NU.

VI.   PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan. Semoga memberikan manfaat bagi pembaca dan juga pemakalah. Kami menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan makalah salanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Amin, Masyhur, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, Yogyakarta: AL-Amin, 1996
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010
Daman, Rozikin, Membidik NU, Yogyakarta: Gama Media, 2001
Ida, Laode.  NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru. Jakarta: Erlangga. 2004
Mulkhan, Abdul Munir, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1990
Muzadi, Abdul Muchith, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, Surabaya:  Khalista, 2007
 Nahdlatul Ulama. Dinamika ideologi dan Politik Kenegaraan,. Jakarta. Kompas. 2010
Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996
Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000
Solikhin, M., Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Rasail, 2005
Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah malang, Muhammadiyah Sejarah, pemikiran dan Amal Usaha, Malang: PT Tiara Wacana Yogya dan Universitas Muhammadiyah Malang Press, 1990


[1] M. Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 156
[2] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), hlm. 84
[3] Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm.114
[4] M. Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 156-157
[5] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, (Surabaya:  Khalista, 2007), hlm. 24
[6] Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, hlm. 58
[7] Samsul Munir Amin, Sejarah Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 424-425
[8] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 53
[9]Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, hlm. 54
[10] M. Solikhin, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 157-158
[11] Rozikin Daman, Membidik NU, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 54
[12] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: AL-Amin, 1996), hlm. 80
[13] Rozikin Daman, Membidik NU, hlm. 54-55
[14] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 80
[15] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 85
[16] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 86
[17] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 87-89
[18] Masyhur Amin, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 90
[19] Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah malang, Muhammadiyah Sejarah, pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: PT Tiara Wacana Yogya dan Universitas Muhammadiyah Malang Press, 1990), hlm. 117-120
[20] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 24-25
[21] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 35
[22] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 35-36
[23] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 36
[24] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 82-83
[25] Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, hlm. 84
[26] Nahdlatul Ulama, Dinamika ideologi dan Politik Kenegaraan,  (Jakarta, Kompas, 2010), hlm.3-4
[27]Laode Ida,  NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm.9-10