Selasa, 23 April 2013

Fiqh Munakahat



SIGHOT AKAD NIKAH, WALI DAN MAHAR DALAM PERNIKAHAN


MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah: FIQH MUNAKAHAT
Dosen pengampu: Dr. H. Amin Farih. M.Ag.




Disusun oleh:

Zubaidah                     (103111107)
Ani Mutmainnah         (103111108)
Asep Saepul Amri       (103111109)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012

SIGHOT AKAD NIKAH, WALI DAN MAHAR DALAM PERNIKAHAN

I.         PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya dibumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.
Pada esensinya, Allah SWT telah menentukan jodoh masing-masing bagi manusia. Tidak pandang berlainan ras, suku, etnik, bangsa dan golongan. Jika telah menjadi jodohnya, maka ibarat "Asam digunung dan garam dilaut, akhirnya bertemu juga".
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Apa saja Ketentuan Sighot Akad Nikah?
B.     Bagaimana Ketentuan Wali dan Saksi dalam Pernikahan?
C.     Bagaimana Pengertian dan Ketentuan Mahar?

III.   PEMBAHASAN
A.       Ketentuan Sighot Dalam Akad Nikah
Shighat akad nikah ialah perkataan-perkataan yang diucapkan oleh pihak calon suami dan pihak calon istri diwaktu dilakukan akad nikah. Shighot akad nikah terdiri atas “ijab dan qabul.” Ijab ialah pernyataan pihak calon istri bahwa ia bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Sedangkan qabul ialah pernyataan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.[1]
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwasannya akad nikah, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat umumnya dianggap sudah menyatakan terjadinya nikah.[2]
Dalam Al-Qur’an, surat Al-Ahzab ayat 37,  Allah SWT, berfirman:
øŒÎ)ur ãAqà)s? üÏ%©#Ï9 zNyè÷Rr& ª!$# Ïmøn=tã |MôJyè÷Rr&ur Ïmøn=tã ô7Å¡øBr& y7øn=tã y7y_÷ry È,¨?$#ur ©!$# Å"øƒéBur Îû šÅ¡øÿtR $tB ª!$# ÏmƒÏö7ãB Óy´øƒrBur }¨$¨Z9$# ª!$#ur ,ymr& br& çm9t±øƒrB ( $£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷ƒy $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 Ÿw tbqä3tƒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷Šr& #sŒÎ) (#öqŸÒs% £`åk÷]ÏB #\sÛur 4 šc%x.ur ãøBr& «!$# ZwqãèøÿtB ÇÌÐÈ

“Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”

Sabda Rasulullah saw:
عن جابربن عبدالله قال.قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اِتَّقُ اللّهَ فِى النِّسَاءِفَاِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللّهِ .(رواه مسلم).
Dari Zabr bin Abdillah ia berkata, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda“Takutlah kamu sekailan kepada Allah dalam hal orang-orang perempuan, sesungguhnya kamu sekalian mengambil mereka dan membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, lafadz ijab qabul oleh wali/ayah terhadap calon mempelai pria adalah:
أَنْكَحْتُكَ وزَوَّجْتُكَ بِبِنْتِى . . . بِمَهْرٍ . . . حَالاً.
Artinya; “Aku nikahkan engkau, atau aku kawinkan engkau dengan anakku....(nama) dengan maskawinnya....tunai.” (ijab)
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وتزوجكَ بِمَهْرِ . . . حَالاً.
Artinya; “Aku terima nikahnya dengan maskawinnya....tunai.” (qabul)
Mengenai lafadz ijab qabul ini harus dengan lafadz nikah atau tazwij atau artinya. Bagi yang bisa bahasa dan mengerti bahasa Arab hendaklah dengan bahasa Arab, tetapi bagi yang tidak bisa dengan artinya.[3]

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه: عن النبي صلى الله عليه و سلم  قال رسول الله صلى ا لله عليه وسلم كل شرط ليس فى كتاب الله فهوبا طل وان كان 'B ة شرط. (متفق عليه)

Artinya: “Dari abu sa’id al-khudry ra dari nabi saw. Beliau bersabda: Segala syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah adalah batal sekalipun seratus kali syarat(Muttafaqun ‘alaih)

Syarat-syarat sighot dalam akad nikah antara lain:
1.    Sighot hendaknya dilakukan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad dan saksi.
2.    Adanya Persamaan Antara Ijab dan Qabul
Harus ada persamaan antara ijab dan qabul baik secara jelas maupun kandungan maknanya. Jika terjadi perbedaan antara ijab dan qabul maka tidak sah akad nya, baik itu dalam ukuran mahar maupun dalam permasalahan yang diakadi.
3.    Ketersambungan Qabul Setelah Ijab
Ijab dan qabul dilaksanakan dalam suatu majelis untuk mencapai keterpautan antara keduanya, jika suatu ijab diucapkan di suatu majelis, qabul diucapkan di majelis lain berarti tidak terkait antara qabul dan ijab karena dimajelis yang terpisah. Apabila ijab dan qabul diucapkan di satu majelis maka sahlah akadnya.
4.    Tidak Meralat Ijab Sebelum Qabul
Jika pihak ijab meralat ijabnya sebelum qabul, maka ijabnya dianggap tidak ada, berarti ijabnya tidak jadi.
5.    Sighat Akad Ringkas
Sighat akad hendaknya terlepas dari catatan atau syarat, sehingga menimbulkan pengaruh seketika
6.    Sighat akad untuk selamanya
Shighat yang akan digunakan dalam akad nikah hendaknya selamanya, tidak boleh dibatasi waktunya dengan pembatas tertentu, baik dalam waktu jangka panjang maupun jangka waktu yang lama[4]

B.       Ketentuan Wali Dalam Akad Nikah
1.    Pengertian Wali
Wali adalah orang yang mangakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain.[5]
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Yang bertindak sebagai wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan).[6]
Dasarnya ialah firman Allah (Q.S. An Nur:24/ 32).
#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.... (Q.S. An Nur:24/ 32).

Dan Hadits Rasulullah SAW:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ أِذْنِ وَلِيُّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (أخرجه الأربعة إلا النسائى وصححه أبوعوانة وأبن حبان والحاكم)

Dari ‘Aisyah RA., ia berkata: Rasulullah SAW. telah bersabda: “siapapun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya (H.R. Imam yang empat kecuali Nasa’I dan disahkan oleh Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban serta Hakim)

2.    Ketentuan Wali
Kata Imam Syafi’i: pernikahan seorang perempuan tidak sah kecuali apabila dinikahkan oleh wali aqrab (dekat). Kalau tidak ada wali aqrab maka dinikahkan oleh wali ab’ad (jauh), kalau tidak ada maka dinikahkan oleh penguasa (wali hakim).[7]      
Mengenai orang-orang yang berhak menjadi wali, Jumhur ulama membagi wali menjadi dua kelompok, di antaranya:
a) Wali dekat atau wali qarib (الولى القريب)
Yang dimaksud dengan wali dekat yaitu ayah, jika tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dinikahkannya.
b) Wali jauh atau wali ab’ad (الولى البعد)
Yang dikatakan wali jauh secara berurutan adalah:
1)   Saudara laki-laki kandung
2)   Saudara laki-laki seayah,
3)    Anak saudara laki-laki kandung
4)    Anak saudara laki-laki seayah
5)    Paman kandung
6)    Paman seayah
7)    Anak paman kandung
8)    Anak paman seayah
9)   Ahli waris kerabat lainnya
10)  Sultan atau wali hakim yang memegang wilayah umum[8]
Syarat-syarat menjadi wali[9]:
1)      Orang yang mukallaf
2)      Muslim
3)      Cerdas (adil)

C.       Ketentuan Saksi
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara apa adanya.
Menurut zumhur ulama, pernikahan yang tidak dihadiri oleh para saksi adalah tidak sah, jika pada awal ijab qabul tidak ada saksi , maka nikahnya tidak sah, sekalipun sesudah itu diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain, jika para saksi hadir dipesan oleh pihak yang mengadakan akad nikah agar merahasiakn dan tidak memberitahukannya kepada orang ramai maka pernikahannya tetap sah.[10]
Dasar hukum saksi:
QS. Al-Baqarah ayat 282:
 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4
 ….. Dan janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil……

Dan juga dalam hadits nabi Muhammad SAW

عن عائشة رضى الله عنها: قال رسول الله صلى ا لله عليه وسلم, لا نكا ح الا نولى وشا هدى عد ل :  ( رواه الدرقطن)

Artinya: Dari Aisya Rasulullah SAW bersabda tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil (HR Darul Quthri),

Adapun syarat-syarat saksi adalah sebagai berikut:
1.      Islam
2.      Balig
3.      Berakal
4.      Adil
5.      Dapat Berbicara
6.      Ingatannya Baik
7.      Bersih dari Tuduhan[11]

Menurut Jumhur Ulama, perkawinan yang tidak dihadiri saksi-saksi tidak sah. Jika ketika ijab qabul tak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain, perkawinannya tetap tidak sah.[12]

D.       Pengertian Dan Ketentuan Mahar
1.    Pengertian Mahar
Mahar secara etimologi artinya maskawin. Sedangkan secara terminologi, mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.[13]
Mahar adalah pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib yang tidak dapat diganti dengan lainnya. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’: ayat 4, Allah SWT berfirman:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.(Q.S An-Nisa’:4)

Apabila si perempuan memberikan sebagian mahar (maskawin) yang sudah menjadi miliknya, tanpa paksaan maka sang suami boleh menerimanya. Mahar (maskawin) wajib diterimakan kepada istri dan menjadi hak istri bukan untuk orang tua atau saudaranya.[14]
Dari uraian diatas jelas bahwa mahar adalah pemberian pria kepada wanita sebagai pemberian wajib, bukan sebagai pemberian atau ganti rugi. Selain itu mahar juga untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan saling mencintai antara kedua suami istri.[15]
2.    Ketentuan Mahar (maskawin)
Syari’at Islam tidak membatasi kadar maskawin yang harus diberikan suami kepada istrinya. Agama menyerahkannya kepada masyarakat untuk menetapkannya menurut adat yang berlaku dikalangan mereka, menurut kemampuan.
Nash Al-Qur’an dan Hadist hanya menetapkan bahwa maskawin itu harus berbentuk dan bermanfaat tanpa melihat sedikit atau banyaknya, karena itu dapat berupa cincin besi, seperti yang diriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda;
عَنْ عَا مِرِبْنِ رَبِيْعَةَ اَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِى فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلٰى نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ ص.م.: اَرَضِيْتِ عَنْ نَفْسِكَ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ فَقَالَتْ: نَعَمْ, فَأَجَزَهُ. (رواه احمدوابنه ماجه والترمذى وصحيحه)
Artinya: “Dari ‘Amir bin Robi’ah: Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazaroh kawin atas maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw lalu bertanya kepada perempuan tersebut: apakau engkau ridla dengan maskawin sepasang sendal? Perempuan tersebut menjawab: ya. Rasulullah akhirnya meluluskannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan At-Turmudziy dan iapun menshohehkannya).

Nabi SAW, juga bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجْ وَلَوْبِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخارى)
Artinya; “Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”. (HR. Bukhori). [16]

Dari Hadist tersebut dapat diketahui bahwa membayar mahar adalah suatu keharusan dalam pernikahan, sekalipun hanya sedikit.

3.    Macam-macam mahar
a.    Mahar Musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
1)     Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ
20.  Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?

2)     Salah satu dari suami isteri meninggal. Demikian menurt ijma’.
3)     Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan isteri dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata isterinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi kalau isteri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT:
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù   
237.  Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu. . . .

b.    Mahar Mitsil (sepadan)
Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengikat status sosial, kecantikan dan sebagainya.
Bila terjadi demikian (mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude). Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
a.       Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan isteri, atau meninggal sebelum bercampur.
b.      Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan isteri dan ternyata nikahnya tidak sah.
c.       Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Firman Allah SWT:
žw yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4
236.  Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan isterinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada isterinya itu.[17]

IV.   ANALISIS
            Pada zaman sekarang ini diperkotaan maupun dalam lingkungan pedesaan banyak sekali suatu pernikahan dalam tahap mengucapkan ijab qabul menggunakan bahasa arab, mereka tidak mengerti maksud perkataan ijab qabul tersebut, mereka hanya dapat mengucapkan, akan tetapi mereka tidak tau apa arti dan maksud dari perkataan ijab qabul yang mereka ucapkan. Dan untuk itu, sebaiknya bagi para wali nikah yang mau menikahkan anak-anaknya haruslah memberi tau apa itu ijab qabul dan maksud dari ijab qabul itu seperti apa. Akan tetapi seandainya pengantin tidak mengerti sama sekali bahasa arab maka cukuplah hanya dengan bahasa apa saja yang mereka fahami.
Dalam sebuah perkawinan, khususnya bagi para orang-orang terpandang dalam kehidupan sehari-harinya, kabanyakan mereka dalam memberikan maskawin dalam pernikahan menggunakan barang-barang yang mewah maupun uang yang jumlahnya cukup besar, padahal dalam syari’at Islam, mahar itu tidak ditentukan oleh banyak sedikitnya benda yang diberikan kepada pihak perempuan, akan tetapi benda tersebut bisa bermanfaat bagi pihak perempuan. Hal tersebut dikarenakan pihak perempuan memiliki hak atas mahar. Oleh karena itu, pihak laki-laki wajib memberikan mahar kepada calon istrinya, walaupun mahar tersebut berjumlah sedikit.  Seperti dalam sabda Rasulullah SAW;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجْ وَلَوْبِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخارى)
Artinya; “Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”. (HR. Bukhori).




V.      KESIMPULAN
Shighat akad nikah ialah perkataan-perkataan yang diucapkan oleh pihak calon suami dan pihak calon istri diwaktu dilakukan akad nikah. Shighot akad nikah terdiri atas “ijab dan qabul.” Mengenai lafadz ijab qabul ini harus dengan lafadz nikah atau tazwij atau artinya. Bagi yang bisa bahasa dan mengerti bahasa Arab hendaklah dengan bahasa Arab, tetapi bagi yang tidak bisa dengan artinya. Serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Wali adalah orang yang mengakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ats Tsauri dan Al-Laits bin Sa’ad berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah ashabah, bukan paman, saudara seibu, dan bukan dzawil-arham lainnya.
Mahar adalah pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib yang tidak dapat diganti dengan lainnya. Syari’at Islam tidak membatasi kadar maskawin yang harus diberikan suami kepada istrinya. Agama menyerahkannya kepada masyarakat untuk menetapkannya menurut adat yang berlaku dikalangan mereka, menurut kemampuan.

VI.   PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.





DAFTAR PUSTAKA

Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Fiqh Munakahat,  Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Darajat, Zakiyah, Ilmu Fiqih Jilid II, Jakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, cet.III, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Rifa’i, Moh. Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: CV. Toha Putra, 1978
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah 6, Bandung: PT Alma’arif,1980




[1] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 74
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 6, (Bandung: PT Alma’arif,1980), hlm. 55
[3] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang,1993), hlm.22-24
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat,  (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 72-80
[5] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, hlm. 65
[6]  Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: CV. Toha Putra, 1978), hlm. 456
[7] Alhamdani, Risalah Nikah, hlm.84
[8] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, hlm. 92-93
[9] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, hlm. 90
[10] Djaaman Nur, Fiqh Munakahah, (Semarang: CV Toha Putra, 1993), hlm. 61
[11] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2009), hlm. 105-114
[12] Fikih sunnah 6, hlm. 87
[13] Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet.III, hlm.84
[14] Alhamdani, Risalah Nikah, hlm. 110
[15] Djaman Nur, Fiqih Munakahat, hlm.82-83
[16] Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 84
[17] Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, hlm. 92-94