SIGHOT AKAD NIKAH, WALI DAN MAHAR DALAM PERNIKAHAN
MAKALAH
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
kuliah: FIQH MUNAKAHAT
Dosen
pengampu: Dr. H. Amin Farih. M.Ag.
Disusun
oleh:
Zubaidah (103111107)
Ani Mutmainnah (103111108)
Asep Saepul Amri (103111109)
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
SIGHOT AKAD NIKAH, WALI DAN MAHAR DALAM PERNIKAHAN
I.
PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai
khalifah dibumi ini. Maka keberadaannya dibumi sangat dibutuhkan agar
kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan
untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari
perzinaan, nikah juga merupakan sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini,
tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.
Pada esensinya, Allah SWT telah menentukan
jodoh masing-masing bagi manusia. Tidak pandang berlainan ras, suku, etnik,
bangsa dan golongan. Jika telah menjadi jodohnya, maka ibarat "Asam
digunung dan garam dilaut, akhirnya bertemu juga".
Agama Islam juga telah mengatur tentang
tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali
nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari
pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat
tercapai tanpa suatu halangan apapun.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa saja Ketentuan Sighot Akad Nikah?
B.
Bagaimana Ketentuan Wali dan Saksi dalam Pernikahan?
C.
Bagaimana Pengertian dan Ketentuan Mahar?
III.
PEMBAHASAN
A.
Ketentuan Sighot Dalam Akad Nikah
Shighat akad nikah ialah perkataan-perkataan yang
diucapkan oleh pihak calon suami dan pihak calon istri diwaktu dilakukan akad
nikah. Shighot akad nikah terdiri atas “ijab dan qabul.” Ijab ialah pernyataan
pihak calon istri bahwa ia bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Sedangkan
qabul ialah pernyataan atau jawaban pihak calon suami bahwa ia menerima
kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.[1]
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwasannya akad nikah, ijab
qabul boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa saja yang
oleh masyarakat umumnya dianggap sudah menyatakan terjadinya nikah.[2]
Dalam Al-Qur’an, surat Al-Ahzab ayat 37, Allah SWT, berfirman:
øÎ)ur ãAqà)s? üÏ%©#Ï9 zNyè÷Rr& ª!$# Ïmøn=tã |MôJyè÷Rr&ur Ïmøn=tã ô7Å¡øBr& y7øn=tã y7y_÷ry È,¨?$#ur ©!$# Å"øéBur Îû Å¡øÿtR $tB ª!$# ÏmÏö7ãB Óy´ørBur }¨$¨Z9$# ª!$#ur ,ymr& br& çm9t±ørB ( $£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷y $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 w tbqä3t n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷r& #sÎ) (#öqÒs% £`åk÷]ÏB #\sÛur 4 c%x.ur ãøBr& «!$# ZwqãèøÿtB ÇÌÐÈ
“Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang
Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat
kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah",
sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya,
dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu
takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya
(menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi
orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila
anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”
Sabda Rasulullah saw:
عن جابربن عبدالله قال.قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم اِتَّقُ اللّهَ فِى النِّسَاءِفَاِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللّهِ .(رواه مسلم).
Dari Zabr bin Abdillah ia
berkata, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda“Takutlah kamu sekailan kepada
Allah dalam hal orang-orang perempuan, sesungguhnya kamu sekalian mengambil
mereka dan membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah.” (HR.
Muslim)
Dengan demikian, lafadz ijab qabul oleh wali/ayah
terhadap calon mempelai pria adalah:
أَنْكَحْتُكَ وزَوَّجْتُكَ
بِبِنْتِى . . . بِمَهْرٍ . . . حَالاً.
Artinya; “Aku nikahkan engkau, atau aku kawinkan
engkau dengan anakku....(nama) dengan maskawinnya....tunai.” (ijab)
قَبِلْتُ
نِكَاحَهَا وتزوجكَ بِمَهْرِ . . . حَالاً.
Artinya; “Aku terima nikahnya dengan
maskawinnya....tunai.” (qabul)
Mengenai lafadz ijab qabul ini harus dengan lafadz
nikah atau tazwij atau artinya. Bagi yang bisa bahasa dan mengerti bahasa Arab
hendaklah dengan bahasa Arab, tetapi bagi yang tidak bisa dengan artinya.[3]
عن أبي سعيد الخدري رضي
الله عنه: عن النبي صلى الله عليه و سلم قال رسول الله
صلى ا لله عليه وسلم كل شرط ليس فى كتاب الله فهوبا طل وان كان 'B ة شرط. (متفق عليه)
Artinya: “Dari abu
sa’id al-khudry ra dari nabi saw. Beliau bersabda: Segala syarat yang tidak terdapat dalam
kitabullah adalah batal sekalipun seratus kali syarat”(Muttafaqun ‘alaih)
Syarat-syarat sighot dalam akad nikah antara lain:
1.
Sighot hendaknya dilakukan dengan bahasa yang
dapat dimengerti oleh orang yang melakukan akad, penerima akad dan saksi.
2.
Adanya Persamaan Antara Ijab dan Qabul
Harus ada persamaan antara ijab dan qabul baik secara jelas maupun
kandungan maknanya. Jika terjadi perbedaan antara ijab dan qabul maka tidak sah
akad nya, baik itu dalam ukuran mahar maupun dalam permasalahan yang diakadi.
3.
Ketersambungan Qabul Setelah Ijab
Ijab dan qabul
dilaksanakan dalam suatu majelis untuk mencapai keterpautan antara keduanya,
jika suatu ijab diucapkan di suatu majelis, qabul diucapkan di majelis lain
berarti tidak terkait antara qabul dan ijab karena dimajelis yang terpisah.
Apabila ijab dan qabul diucapkan di satu majelis maka sahlah akadnya.
4.
Tidak Meralat Ijab Sebelum Qabul
Jika pihak ijab meralat
ijabnya sebelum qabul, maka ijabnya dianggap tidak ada, berarti ijabnya tidak
jadi.
5.
Sighat Akad Ringkas
Sighat akad hendaknya
terlepas dari catatan atau syarat, sehingga menimbulkan pengaruh seketika
6.
Sighat akad untuk selamanya
Shighat yang akan
digunakan dalam akad nikah hendaknya selamanya, tidak boleh dibatasi waktunya
dengan pembatas tertentu, baik dalam waktu jangka panjang maupun jangka waktu
yang lama[4]
B.
Ketentuan Wali Dalam Akad Nikah
1.
Pengertian Wali
Wali adalah
orang yang mangakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah
tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi
izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau
mewakilkannya kepada orang lain.[5]
Akad nikah
dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai
laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.
Wali dalam
suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat
langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Yang
bertindak sebagai wali adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.
Seorang wali
dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali
dengan seorang wali (dari pihak perempuan).[6]
Dasarnya
ialah firman Allah (Q.S. An Nur:24/ 32).
#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan....
(Q.S. An Nur:24/ 32).
Dan Hadits
Rasulullah SAW:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ أِذْنِ وَلِيُّهَا
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (أخرجه
الأربعة إلا النسائى وصححه أبوعوانة وأبن حبان والحاكم)
Dari ‘Aisyah RA.,
ia berkata: Rasulullah SAW. telah bersabda: “siapapun perempuan yang menikah
dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya (H.R. Imam yang empat
kecuali Nasa’I dan disahkan oleh Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban serta Hakim)
2.
Ketentuan Wali
Kata Imam Syafi’i:
pernikahan seorang perempuan tidak sah kecuali apabila dinikahkan oleh wali
aqrab (dekat). Kalau tidak ada wali aqrab maka dinikahkan oleh wali ab’ad
(jauh), kalau tidak ada maka dinikahkan oleh penguasa (wali hakim).[7]
Mengenai
orang-orang yang berhak menjadi wali, Jumhur ulama membagi wali menjadi dua
kelompok, di antaranya:
a) Wali dekat atau wali
qarib (الولى القريب)
Yang dimaksud dengan wali
dekat yaitu ayah, jika tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya
mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan
dinikahkannya.
b) Wali jauh atau wali
ab’ad (الولى البعد)
Yang dikatakan wali jauh
secara berurutan adalah:
1)
Saudara laki-laki kandung
2)
Saudara laki-laki seayah,
3) Anak saudara laki-laki kandung
4)
Anak
saudara laki-laki seayah
5)
Paman kandung
6)
Paman seayah
7)
Anak paman
kandung
8)
Anak paman
seayah
9)
Ahli waris kerabat lainnya
10) Sultan atau wali hakim yang memegang wilayah umum[8]
Syarat-syarat menjadi wali[9]:
1) Orang yang mukallaf
2) Muslim
3) Cerdas (adil)
C.
Ketentuan Saksi
Saksi menurut bahasa berarti orang yang melihat atau
mengetahui sendiri sesuatu peristiwa (kejadian). Sedangkan menurut istilah
adalah orang yang memberitahukan keterangan dan mempertanggungjawabkan secara
apa adanya.
Menurut zumhur ulama, pernikahan yang
tidak dihadiri oleh para saksi adalah tidak sah, jika pada awal ijab qabul
tidak ada saksi , maka nikahnya tidak sah, sekalipun sesudah itu diumumkan
kepada orang ramai dengan cara lain, jika para saksi hadir dipesan oleh pihak
yang mengadakan akad nikah agar merahasiakn dan tidak memberitahukannya kepada
orang ramai maka pernikahannya tetap sah.[10]
Dasar hukum
saksi:
QS. Al-Baqarah ayat 282:
wur z>ù't âä!#ypk¶9$# #sÎ) $tB (#qããß 4
….. Dan janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil……
Dan juga dalam hadits nabi Muhammad SAW
عن عائشة رضى الله عنها: قال رسول
الله صلى ا لله عليه وسلم, لا نكا ح الا نولى وشا هدى عد ل : ( رواه الدرقطن)
Artinya:
Dari Aisya Rasulullah SAW bersabda tidak sah pernikahan kecuali dengan
wali dan dua orang saksi yang adil (HR Darul Quthri),
Adapun syarat-syarat saksi adalah sebagai berikut:
1.
Islam
2.
Balig
3.
Berakal
4.
Adil
5.
Dapat Berbicara
6.
Ingatannya Baik
7.
Bersih dari Tuduhan[11]
Menurut Jumhur Ulama,
perkawinan yang tidak dihadiri saksi-saksi tidak sah. Jika ketika ijab qabul
tak ada saksi yang menyaksikan, sekalipun diumumkan kepada orang ramai dengan
cara lain, perkawinannya tetap tidak sah.[12]
D.
Pengertian Dan Ketentuan Mahar
1.
Pengertian Mahar
Mahar
secara etimologi artinya maskawin. Sedangkan secara terminologi, mahar
adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan
hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada
calon suaminya.[13]
Mahar
adalah pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau pada waktu
berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib yang tidak dapat diganti dengan
lainnya. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’: ayat 4, Allah SWT berfirman:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
“Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(Q.S An-Nisa’:4)
Apabila si
perempuan memberikan sebagian mahar (maskawin) yang sudah menjadi miliknya,
tanpa paksaan maka sang suami boleh menerimanya. Mahar (maskawin) wajib
diterimakan kepada istri dan menjadi hak istri bukan untuk orang tua atau
saudaranya.[14]
Dari
uraian diatas jelas bahwa mahar adalah pemberian pria kepada wanita sebagai
pemberian wajib, bukan sebagai pemberian atau ganti rugi. Selain itu mahar juga
untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan saling
mencintai antara kedua suami istri.[15]
2.
Ketentuan Mahar (maskawin)
Syari’at
Islam tidak membatasi kadar maskawin yang harus diberikan suami kepada
istrinya. Agama menyerahkannya kepada masyarakat untuk menetapkannya menurut
adat yang berlaku dikalangan mereka, menurut kemampuan.
Nash Al-Qur’an dan Hadist hanya menetapkan bahwa maskawin
itu harus berbentuk dan bermanfaat tanpa melihat sedikit atau banyaknya, karena
itu dapat berupa cincin besi, seperti yang diriwayatkan, bahwa Rasulullah
bersabda;
عَنْ عَا مِرِبْنِ رَبِيْعَةَ اَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِى
فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلٰى نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ ص.م.:
اَرَضِيْتِ عَنْ نَفْسِكَ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ فَقَالَتْ: نَعَمْ, فَأَجَزَهُ.
(رواه احمدوابنه ماجه والترمذى وصحيحه)
Artinya:
“Dari ‘Amir bin Robi’ah: Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazaroh kawin
atas maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw lalu bertanya kepada perempuan
tersebut: apakau engkau ridla dengan maskawin sepasang sendal? Perempuan
tersebut menjawab: ya. Rasulullah akhirnya meluluskannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan At-Turmudziy dan
iapun menshohehkannya).
Nabi
SAW, juga bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجْ وَلَوْبِخَاتِمٍ
مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخارى)
Dari Hadist tersebut dapat diketahui bahwa membayar mahar
adalah suatu keharusan dalam pernikahan, sekalipun hanya sedikit.
3.
Macam-macam mahar
a.
Mahar Musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau
dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau mahar yang dinyatakan
kadarnya pada waktu akad nikah.
Ulama fikih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya mahar
musamma harus diberikan secara penuh apabila:
1) Telah bercampur
(bersenggama). Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
÷bÎ)ur ãN?ur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry c%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% xsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4
¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ
20. Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan
isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya
barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan
yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?
2) Salah satu dari suami
isteri meninggal. Demikian menurt ijma’.
3) Mahar musamma juga wajib
dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan isteri dan ternyata
nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata isterinya mahram
sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.
Akan tetapi kalau isteri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar
setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT:
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpÒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù
237. Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum
kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu. . . .
b.
Mahar Mitsil (sepadan)
Mahar mitsil yaitu mahar
yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi
pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima
oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengikat
status sosial, kecantikan dan sebagainya.
Bila terjadi demikian
(mahar itu tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi
pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin
wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude). Apabila tidak ada, maka mitsil
itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar mitsil juga terjadi
dalam keadaan sebagai berikut:
a.
Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika
berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan isteri, atau
meninggal sebelum bercampur.
b.
Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah
bercampur dengan isteri dan ternyata nikahnya tidak sah.
c.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya
disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Firman Allah
SWT:
w yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊÌøÿs? £`ßgs9 ZpÒÌsù 4
236. Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas
kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.
Ayat ini menunjukkan bahwa
seorang suami boleh menceraikan isterinya sebelum digauli dan belum juga
ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada isterinya itu.[17]
IV. ANALISIS
Pada
zaman sekarang ini diperkotaan maupun dalam lingkungan pedesaan banyak sekali
suatu pernikahan dalam tahap mengucapkan ijab qabul menggunakan bahasa arab, mereka
tidak mengerti maksud perkataan ijab qabul tersebut, mereka hanya dapat
mengucapkan, akan tetapi mereka tidak tau apa arti dan maksud dari perkataan
ijab qabul yang mereka ucapkan. Dan untuk itu, sebaiknya bagi para wali nikah
yang mau menikahkan anak-anaknya haruslah memberi tau apa itu ijab qabul dan
maksud dari ijab qabul itu seperti apa. Akan tetapi seandainya pengantin tidak mengerti
sama sekali bahasa arab maka cukuplah hanya dengan bahasa apa saja yang mereka
fahami.
Dalam sebuah perkawinan, khususnya bagi para orang-orang
terpandang dalam kehidupan sehari-harinya, kabanyakan mereka dalam memberikan
maskawin dalam pernikahan menggunakan barang-barang yang mewah maupun uang yang
jumlahnya cukup besar, padahal dalam syari’at Islam, mahar itu tidak ditentukan
oleh banyak sedikitnya benda yang diberikan kepada pihak perempuan, akan tetapi
benda tersebut bisa bermanfaat bagi pihak perempuan. Hal tersebut dikarenakan
pihak perempuan memiliki hak atas mahar. Oleh karena itu, pihak laki-laki wajib
memberikan mahar kepada calon istrinya, walaupun mahar tersebut berjumlah
sedikit. Seperti dalam sabda Rasulullah
SAW;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم تَزَوَّجْ
وَلَوْبِخَاتِمٍ مِنْ حَدِيْدٍ (رواه
البخارى)
Artinya;
“Kawinlah engkau sekalipun dengan maskawin cincin dari besi”. (HR. Bukhori).
V.
KESIMPULAN
Shighat akad nikah ialah perkataan-perkataan yang
diucapkan oleh pihak calon suami dan pihak calon istri diwaktu dilakukan akad
nikah. Shighot akad nikah terdiri atas “ijab dan qabul.” Mengenai lafadz ijab
qabul ini harus dengan lafadz nikah atau tazwij atau artinya. Bagi
yang bisa bahasa dan mengerti bahasa Arab hendaklah dengan bahasa Arab, tetapi
bagi yang tidak bisa dengan artinya. Serta memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan.
Wali
adalah orang yang mengakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali
adalah tidak sah. Imam Malik,
Asy-Syafi’i, Ats Tsauri dan Al-Laits bin Sa’ad berpendapat bahwa wali dalam
pernikahan adalah ashabah, bukan paman, saudara seibu, dan bukan dzawil-arham
lainnya.
Mahar adalah pemberian seorang suami kepada istrinya
sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib
yang tidak dapat diganti dengan lainnya. Syari’at Islam tidak membatasi kadar maskawin
yang harus diberikan suami kepada istrinya. Agama menyerahkannya kepada
masyarakat untuk menetapkannya menurut adat yang berlaku dikalangan mereka,
menurut kemampuan.
VI. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan. Kami menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi pembaca
pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Fiqh
Munakahat, Jakarta: Sinar Grafika,
2009
Darajat,
Zakiyah, Ilmu Fiqih Jilid II, Jakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqih
Munakahat, cet.III, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam
tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
Rifa’i, Moh.
Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: CV. Toha Putra, 1978
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah 6,
Bandung: PT Alma’arif,1980
[1] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam
tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 74
[2] Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah 6, (Bandung: PT Alma’arif,1980), hlm. 55
[3] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat,
(Semarang: Dina Utama Semarang,1993), hlm.22-24
[6] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang:
CV. Toha Putra, 1978), hlm. 456
[9] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam
tentang Perkawinan, hlm. 90
[11] Tihami
dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2009),
hlm. 105-114
[12] Fikih sunnah 6, hlm. 87
[13] Abdul
Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), cet.III, hlm.84
[15] Djaman
Nur, Fiqih Munakahat, hlm.82-83
[16] Zakiyah
Darajat, Ilmu Fiqih Jilid II, (Jakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf, 1995),
hlm. 84
[17] Abdul
Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, hlm. 92-94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar