PAHAM-PAHAM AGAMA ISLAM DI INDONESIA
(MUHAMMADIYAH DAN NU: JAMA’AH, JAM’IYYAH)
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Islam
di Indonesia
Dosen Pengampu : Maftukhah, M. Si
Disusun Oleh :
Ani Mutmainnah (103111108)
Rochmatun Naili (103111131)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
PAHAM-PAHAM AGAMA ISLAM DI INDONESIA
(MUHAMMADIYAH DAN NU: JAMA’AH, JAM’IYYAH)
I.
PENDAHULUAN
Beberapa organisasi Islam di Indonesia telah memiliki andil yang
cukup besar terhadap proses pengembangan agama Islam. Termasuk dalam
pembentukan budaya Islam dalam masyarakat luas. Peran tersebut terus
berlangsung hingga sekarang. Paham-paham Islam di Indonesia merupakan suatu
perkumpulan terstruktur yang mempunyai misi sebagai pembenahan pemahaman,
kepercayaan ataupun agama untuk menjadikan ke depan lebih baik. Paham-paham
Islam di Indonesia banyak macamnya. Diantaranya yaitu Muhammadiyah dan NU.
Antara keduanya memiliki visi, misi, cara pandang dan tujuan yang berbeda satu
sama lain. Walaupun begitu, mereka tidak bertentangan dengan landasan pokok
atau syari’at agama Islam.
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara lebih jelas mengenai dua
paham Islam tersebut (Muhammadiyah dan NU) sebagai gerakan pembaharu Islam.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Sejarah
Berdirinya Muhammadiyah dan NU?
B. Apa Saja Bentuk-Bentuk Pemikiran
Muhammadiyah dan NU?
C.
Apa Tujuan dan Visi Misi Terbentuknya
Muhammadiyah dan NU?
D.
Bagaimana Sikap politik Muhammadiyah dan NU?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah dan NU
1.
Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan
pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H., bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M
di Yogyakarta oleh KH. A. Dahlan beserta sahabat dekat dan murid-muridnya.
Organisasi ini diberi nama Muhammadiyah yaitu semua orang yang beragama Islam
dan memahami bahwa Nabi Muhammad adalah hamba yang menegakkan dan menjunjung
tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang benar-benar
masyarakat utama.[1] Organisasi ini didirikan atas saran yang diajukan oleh
murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu
lembaga pendidikan yang bersifat permanen.[2]
Latar belakang berdirinya Muhammadiyah yaitu:
Kelahiran Muhammadiyah
tidak lain karena diilhami, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran-ajaran
Al-Qur’an dan karena itu pula seluruh geraknya tidak ada motif lain kecuali
semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prisip ajaran Islam. Segala yang
dilakukan oleh Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya, tak dapat dilepaskan dari ajaran-ajaran Islam.
Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah Islam dalam
wujud yang riel, konkret, dan nyata, yang dapat dihayati, dirasakan, dan
dinikmati oleh umat sebagai “rahmatan lil ‘alamin”.[3]
Ada 2 (dua)
faktor yang menjadi penyebab berdirinya gerakan ini:
a.
Faktor Subyektif
Faktor Subyektif ialah pelakunya sendiri. Dan ini merupakan faktor sentral.
Faktor yang lain hanya menjadi penunjang saja. Yang
dimaksud disini ialah, kalau mau mendirikan Muhammadiyah maka harus dimulai
dari orangnya sendiri. Kalau tidak, maka Muhammadiyah bisa dibawa kemana saja.
b.
Faktor Obyektif
Faktor
obyektif yang dimaksud ialah keadaan dan kenyataan yang bekembang saat itu. Hal
ini hanya merupakan pendorong lebih hangat dari permulaan yang telah ditetapkan
dan hendak dilakukan subyeknya.
Faktor berdirinya bersifat internal dari umat Islam. Maksudnya kenyataan
bahwa ajaran Islam yang masuk ke Indonesia kemudian menjadi agama umat Islam di
Indonesia sebagai akibat perkembangan Islam pada umumnya ternyata sudah tidak
utuh dan tidak murni lagi. Sementara faktor eksternalnya adalah bahwa
pemerintah Belanda merupakan keadaan obyektif eksternal umat Islam pertama yang
melatar
belakangi berdirinya Muhammdiyah.[4]
2. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M.
atas kesadaran dan keinsyafan bahwa
setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup
bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya
terhadapnya. Persatuan, ikatan batin, saling bantu-mambantu dan kesatuan
merupakan prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan dan kasih sayang yang
menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.[5]
Nahdlatul Ulama artinya Kebangkitan Ulama didirikan di
Surabaya sebagai reaksi terhadap berdirinya gerakan reformasi dalam Islam di
Indonesia, dan mempertahankan salah satu mazhab empat dalam masalah yang
berhubungan dengan fiqih (hukum Islam). Dalam hal i’tiqad berpegang pada aliran
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tokoh pendiri NU adalah KH. Wahab Hasbullah,
KH. Bisyri Syamsuri, KH. Ma’shum Lasem dan sebagai ketua pertamanya adalah KH.
Hasyim Asy’ari.[6]
Lapangan usaha NU meliputi bidang-bidang pendidikan, dakwah, dan
sosial terutama penyiaran agama Islam menurut faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
NU memiliki pondok pesantren besar yang menyebar di Indonesia, seperti
Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri,
Pesantren Asembagus Situbondo, Pesantren Kajen Pati, Pesantren Lasem Rembang,
Pesantren Kalibeber Wonosobo, Pesantren Buntut Cirebon, Pesantren Cipasung
Tasikmalaya dan lain-lain. Disamping pesantren pendidikan yang dikelola NU
adalah sekolah-sekolah formal sejak MI, MTs, MA, juga SD, SMP, SMA, sampai
Perguruan Tinggi.
NU pernah terjun dibidang politik, setelah keluar dari partai
politik Masyumi (1955). Dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, peran NU cukup
besar. Bahkan diantara para tokoh NU ada yang diakui sebagai pahlawan nasional
oleh pemerintah RI antara lain: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH.
Zainal Mustafa, KH. Zainul Arifin. Dalam perjuangan politik, NU akhirnya
menyatakan kembali ke Khithah 26, yaitu meninggalkan perjuangan politik
praktis. Tokoh-tokoh NU antara lain: KH. Dr. Idham Khalid (pernah ketua
DPR-MPR), dan KH. Abdurrahman Wahid, pernah menjadi presiden RI ke-4.[7]
B.
Bentuk-Bentuk Pemikiran Muhammadiyah dan NU
1.
Bentuk-Bentuk Pemikiran Muhammadiyah
Kategorisasi pemikiran Muhammadiyah mengelompokkan pemikiran
Muhammadiyah ke dalam jenis pemikiran yang bersifat filosofis dan teoritis.
Pemikiran Muhammadiyah dapat disusun secara garis besar filosofi
keperjuangan Muhammadiyah dalam lima prinsip. Pertama; tauhid, kedua;
ibadah, ketiga; kemasyarakatan/jama’ah, keempat; ittiba’, kelima; tajdid dan keenam;
organisai. Dengan tajdid dimaksudkan sebagai penempatan rasio atau akal atau
arro’yu sebagai alat dalam memahami dan merealisasikan ajaran Islam.
Berdasarkan prinsip tersebut di atas, maka gerak dakwah
Muhammadiyah dalam semua aspek kehidupan sosial harus merupakan pelaksanaan dan
penjabaran enam prinsip itu. Oleh karena itu penataan organisasi Muhammadiyah
harus berdimensi tauhid, sebagai ibadah dalam konteks hidup sosial/jama’ah yang
dikembangkan sesuai dengan pola sunnah rasul.
Oleh karena itu kehidupan sosial selau berubah setiap saat, maka
penerapan prinsip di atas dikembangkan melalui pertimbangan rasional dengan
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula halnya dengan
pengembangan amal usaha Muhammadiyah yang meliputi berbagai aspek kehidupan
sosial.[8]
Selanjutnya, jenis pemikiran yang kedua yang bersifat teoritis
mengandung beberapa prinsip strategi dan teori keperjuangan Muhammadiyah
melalui gerakan dakwah dan tajdid. Pemikiran ini disebut teoritis dan strategis
karena merupakan teoritisasi norma yang tercantum dalam pemikiran jenis pertama
dengan realitas hidup obyektif.
Sesuai dengan posisi pemikiran jenis kedua tersebut, maka pemikiran
jenis kedua bersifat kondisional yang lahir sebagai jawaban terhadap realitas
kehidupan sosial yang selalu berubah. Secara garis besar prinsip strategi
keperjuangan Muhammadiyah terdiri dari beberapa konsep. Pertama, pendalaman
akidah bagi pimpinan dan anggota. Kedua, memperluas wawasan pemahaman
Islam. Ketiga, korektif dan musyawarah. Keempat, pengembangan
keterbukaan dan kemerdekaan berpikir secara rasional. Kelima, dakwah
Islam merupakan konsep umum pengembangan tata kehidupan Islam. Keenam,
politik dalam pengertiannya yang luas merupakan sub-sistem dari konsep dan
gerakan dakwah Islam. Ketujuh, penertiban administrasi dan organisasi. Kedelapan,
profesionalisasi dan spesialisasi sebagai metode pembagian kerja dan tugas
dalam gerakan dakwah. Kesembilan, peningkatan mutu kehidupan sosial dan
ekonomi anggota serta warga masyarakat antara lain dilakukan melalui
peningkatan mutu amal-usaha Muhammadiyah di bidang sosial, ekonomi, budaya dan
politik. Kesepuluh, ukhuwah-islamiyah sebagai prinsip hubungan
kemasyarakatan.[9]
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dapat dipahami dari dua segi: pertama
dapat diartikan bahwa gerakan Muhammadiyah harus berciri/ bersifat Islam.
Seperti kedisiplinannya dalam menepati waktu. Kedua, dapat diartikan
menggerakkan Islam, menjadikan Islam ini bergerak (dinamis) tidak diam (statis)
sehingga adanya Islam dapat dirasakan oleh semua orang, tidak hanya orang
Muhammadiyah saja, tetapi juga mendirikan tempat- yang bermanfaat lainnya seperti
mendirikan sekolah, dan rumah sakit.
Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah berjuang dalam bidang
masyarakat, bekerja dan bergerak ditengah masyarakat dalam melaksanakan dakwah
Islam yang berprinsip pada Amar Ma’ruf nahi Munkar dalam arti yang sebenarnya dan seluas-luasnya
untuk menggerakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud
masyarakat yang mutamaddin, yang adil makmur serta diridhai Allah.[10]
2.
Bentuk-Bentuk Pemikiran NU
Sejak awal pendiriannya NU merupakan organisasi yang bermotif dan
berlandaskan keagamaan yang spesifik dengan haluan Ahl-Sunnah wa al-Jama’ah.
Oleh karena itu segala sikap, perilaku, dan karakter perjuangannya akan selalu
diukur berdasarkan norma dan prinsip ajaran agama Islam yang dianut.
Prinsip-prinsip ajaran (ideologi) yang dianutnya menjadi tuntutan atau pedoman
bagi praktik-praktik keagamaan maupun dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan di
kalangan NU, yang pada gilirannya akan membentuk karakteristik tersendiri dalam
perjalanan kehidupan NU, serta membedakannya dengan organisasi keagamaan yang
lain.[11] Adapun
prinsip-prinsip ajaran yang memberikan nuansa spesifik pada NU dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1. Paham NU dalam bidang
keagamaan
Pikiran Nahdlatul Ulama dalam bidang keagamaan secara ringkas dapat dibagi
dalam tiga bidang, yaitu: bidang aqidah, fiqh dan tasawuf.
Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada tahun
1926 adalah Islam atas dasar Ahlus sunnah wal jama’ah. Adapun faham ahlus
sunnah wal jama’ah yang dianut oleh NU adalah faham yang dipelopori oleh
Abul Hasan Al- Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al- Maturidi.[12] Faham
ini menjadi cita-cita kelahiran, menjadi pedoman dalam perjalanan kehidupan NU,
menjadi landasan perjuangan yang senantiasa dipegang teguh dalam mengembangkan
Islam di Indonesia.[13]
Dalam bidang fiqh, dalam rangka mengajarkan agama Islam NU menganut
dan mengikuti produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu madzhab empat sebagai
konsekuensi dari menganut faham ahlus sunnah wal jama’ah. Walaupun
demikian tidak berarti NU tidak lagi menganut ajaran Rasulullah, sebab keempat
madzhab tersebut berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah di samping ijma’ dan
qiyas sebagai sumber pokok Islam.[14]
Faham NU dalam bidang tasawuf mengikuti aliran tasawuf yang
dipelopori oleh Imam Al-Junaid Al Bagdadi dan Imam Al-Ghazali. Imam Al-Junaid
Al Bagdadi adalah salah seorang ulama sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M
di Irak sedang Imam Al-Ghazali adalah ulama besar yang berasal dari Persia.Untuk
kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental dan kesadaran batin yang benar
dalam beribadah bagi warga NU, maka pada tahun 1957 para tokoh NU membentuk
suatu badan Jam’iyah al-Thariqah al-Muqtabarah. Badan ini merupakan
wadah bagi warga NU dalam mengikuti ajaran tasawuf.[15]
Dalam bidang filsafat NU juga menganut ahli filsafat Islam yaitu
Al-Ghazali. Karena beliau pandai berfilsafat Islam dan sepaham dengan pemikiran
NU, maka NU juga menganut Al-Ghazali dalam hal pemikiran filsafatnya.
2. Faham NU dalam bidang
kemasyarakatan
Sikap NU dalam bidang kemasyarakatan diilhami dan didasari oleh sikap dan
faham keagamaan yang dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat: tawasuth
dan i’tidal, tasammuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar.
Sikap ini harus dimiliki baik oleh aktifis NU maupun segenap warga dalam
berorganisasi dan bermasyarat.[16]
a.
Sikap Tawasuth dan I’tidal. Tawasuth artinya tengah, sedang I’tidal
artinya tegak. Sikap Tawasuth dan I’tidal maksudnya sikap tengah yang
berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil
dan lurus ditengah tengah kehidupan bersama.
b.
Sikap Tasammuh maksudnya adalah NU bersikap toleran terhadap
perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan terutama hal-hal yang
bersikap furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah maupun dalam masalah
kemasyarakatan dan kebudayaan.
c.
Sikap Tawazun yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyerasikan
khidmad kepada Allah SWT, khidmad kepada sesama manusia serta kepada
lingkungannya.
d.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Warga NU diharapkan
mempunyai kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan
sesama, serta mencegah semua hal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai
kehidupan.[17]
3. Pola pikir NU
Dalam NU dikenal sumber hukum Islam itu ada empat, yaitu: Al-Qur’an, As-Sunnah,
Al-Ijma’, Qiyas. Selain empat sumber hukum Islam tersebut, NU juga mengacu
kepada lima pokok tujuan syar’iyah, yang dikemukakan oleh oleh Imam As Sathibi,
yaitu melindungi: Agama, jiwa, keturunan/kehormatan, harta, dan akal sehat.
Ciri lain dalam metode berfikir NU adalah mengacu kepada kaidah-kaidah fiqh.[18]
C. Tujuan Muhammadiyah dan
NU
1. Tujuan dan Visi Misi Pendirian Muhammadiyah
Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid)
pemahaman agama. Adapun yang dimaksud dengan pembaharuan oleh Muhammadiyah
ialah pembaharuan dalam arti mengembalikan keasliannya kemurniannya, dan
pembaharuan dalam arti modernisasi. Sekarang ini usaha pembaharuan Muhammadiyah
secara ringkas dapat dibagi ke dalam tiga bidang, yaitu: bidang keagamaan, bidang
pendidikan, dan bidang kemasyarakatan.
a. Bidang keagamaan
Pembaharuan dalam bidang keagamaan ialah memurnikan kembali dan
mengembalikan kepada keasliannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan agama baik
yang menyangkut aqidah (keimanan) ataupun ritual (ibadah) haruslah sesuai
dengan aslinya, yaitu sebagaimana diperintahkan oleh Allah swt dalam al-Qur’an
dan dituntunkan oleh Nabi Muhammad saw lewat sunnah-sunnahnya.
b. Bidang pendidikan
Bagi Muhammadiyah, pendidikan mempunyai arti penting. Karena melalui bidang
inilah pemahaman tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke
generasi. Pembaharuan pendidikan meliputi dua segi. Yaitu segi cita-cita dan
segi teknik pengajaran. Dari segi cita-cita, yang dimaksudkan KH. Ahmad Dahlan
ialah ingin membentuk manusia muslim yang baik budi, alim dalam agama, luas
dalam pandangan dan faham masalah ilmu keduniaan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan
masyarakatnya. Adapun teknik, lebih banyak berhubungan dengan cara-cara
penyelenggaraan pengajaran.
c. Bidang kemasyarakatan
Di bidang sosial dan kemasyarakatan, usaha yang dirintis oleh Muhammadiyah yaitu
didirikannya rumah sakit, poliklinik, rumah yatim-piatu, yang dikelola melalui
lembaga-lembaga dan bukan secara individual sebagaimana dilakukan orang pada
umumnya.[19]
2. Tujuan dan Visi Misi Pendirian NU
Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan,
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal
Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat, serta untuk memepersatukan
langkah para ulama dan para pengikut-pengikutnya dalam melakuka kegiatan yang
bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan
ketinggian harkat dan martabat manusia.
NU dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut
membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertakwa kepada Allah
SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU
mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiyar yang didasari
oleh dasar-dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas NU. Inilah
yang kemudian disebut Khitthah Nahdlatul Ulama.[20]
NU didirikan sebagai Jam’iyyah
Diniyyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan). Jam’iayyah ini dibentuk
untuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya. Kata ulama
dalam rangkaian Nahdlatul Ulama tidak selalu berarti NU hanya beranggotakan
Ulama tetapi memiliki maksud bahwa Ulama mempunyai maksud kedudukan istimewa
didalam NU, karena baliau adalah pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam
yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Nahdlatul Ulama mempunyai dua wajah:
Pertama, wajah Jam’iyyah (NU
jam’iyyah). Yaitu sebagai organisasi formal struktural yang mengikuti mekanisme
organisasi modern seperti memiliki pengurus, anggota, iuran, rapat-rapat resmi,
keputusan-keputusan resmi dan lain-lain.[21]
Kedua, wajah jama’ah (NU
jama’ah). Yaitu kelompok ideologis kultural yang mempunyai pandangan, wawasan
keagamaan dan budaya ala NU. Bahkan mereka tidak mau dikatakan bukan orang NU.
Mereka tersebar dalam berbagai kelompok kegiatan, seperti jama’ah yasinan,
tahlilan, wali murid madrasah NU, jama’ah mushalla dan sebagainya. Anehnya
mereka tidak mudah diatur sebagai jam’iyyah NU.[22]
Kedua macan kelompok tersebut, merupakan potensi bagi organisasi ini.
Masing-masing harus diurus secara baik dan tepat. Bahkan idealnya jam’iyyah NU
dapat menjadi organisasi kader dengan melakukan langkah-langkah taktis seperti:
a.
Tertib administrasi dan organisasi yang mantap, mulai dari pendaftaran
anggota, mutasi, proses pembentukan pengurus dan sebagainya.
b.
Pembinaan odeologi dan wawasan yang mumpuni.
c.
Disiplin operasional dan langkah-langkah perjuangan.
Sedangkan sebagai jam’ah NU, mereka diharapkan menjadi pendukung masal bagi
gagasan, sikap, langkah amaliah organisasi dan sebagainya, meskipun keberadaan
mereka tidak terdaftar sebagai warga jam’iyyah NU.[23]
D. Sikap politik
Muhammadiyah dan NU
1. Sikap Politik
Muhammdiyah
Sikap dan pandangan politik Muhammadiyah dirumuskan dalam pernyataan bahwa;
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam yang menempatka kehidupan manusia dan
masyarakat sebagai sasaran dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Kegiatan politik
menurut pandangan Muhammadiyah adalah salah satu aspek dari kehidupan manusia
danmasyarakat tersebut. Berdasarkan pandangannya tersebut sikap politik
Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi dua bagian.
Pertama, ketika Parmusi (Partai
Muslimin Indonesia) belum melakukan fusi dalam PPP, Muhammadiyah menyatakan
bahwa Parmusi adalah salah satu proyek amal usaha Muhammadiyah. Berdasarkan hal
tersebut Muhammadiyah secara aktif mengambil peranan dalam pembinaan dan
pengembangan Parsumi.
Sikap demikian itu dinyatakan oleh pernyataan Muhammadiyah bahwa seluruh
anggota Muhammadiyah harus merasa bertanggungjawab terhadap perkembangan
Parmusi. Oleh karena itu dalam menghadapi Pemilu 1971 Muhammadiyah
menginstruksikan seluruh warga Muhammadiyah agar memenangkan Bulan Bintang (dhi
Parsumi) (BSM no. 35/III/70 hlm 4 dan 6; BSM no. 36/III/70 hlm. 4 dan 6; BSM
no. 44/IV/71 hlm. 2-4).
Pandangan dan sikap politik Muhammadiyah tersebut di atas merupakan
landasan dan pengarah tindakan politiknya. Sesuai dengan sikap pemerintah yang
menempatkan Muhammadiyah sebagai ormas yang mempunyai fungsi politik, maka
sejak tahun 1966 Sidang Takwir 1968 menugaskan kepada Majlis Hikmah agar
mengarahkan anggota Muhammadiyah yang duduk di lembaga legislatif agar bergabung
ke dalam fraksi Parmusi (BSM no. 8/I/68).
Kedua, sikap Muhammadiyah
tersebut kemudian berubah ketika lahirnya PPP sejak tahun 1975 sebagai tindak
lanjut UU no.3/1975. Berdasarkan pandangannya tersebut Muhammadiyah mengambil
kebijaksanaan untuk memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk atau tidak
kepada partai atau golongan politik lainnya. Demikian pula dalam memilih salah
satu partai atau golongan politik peserta Pemilu dengan cacatan sesuai dengan
aspirasi perjuangan Muhammadiyah (BMR no.93/94 th 1982 hlm.8).[24]
Pandangan politik Muhammadiyah tersebut timbul sebagai akibat semakin
kendornya fungsi kontrol Muhammadiyah terhadap parmusi dan masuknya berbagai
kader Muhammadiyah dalam tubuh Golkar (Mulkhan 1989). Hal itu telah menimbulkan
konflik intern di berbagai daerah Muhammadiyah dan berkembangnya sikap
pemerintah yang tidak menguntungkan Muhammadiyah sendiri. Berdasarkan pandangan
Muhammadiyah tersebut di atas, ST 1968 menetapkan pelarangan rangkap jabatan
dalam politik (Parsumi) dan Muhammadiyah sebagai upaya untuk menempatkan
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah (Laporan kep. ST 1968).[25]
2. Sikap politik NU
Ada tiga model politik yang selama ini dilaksanakan NU, yaitu politik
kenegaraan, politik kerakyatan, dan politik kekuasaan. Dari tiga politik itu,
politik kekuasaan (praktis) menempati kedudukan paling rendah. Di kalangan NU
ada asumsi, politik kerakyatan dan kenegaraan akan mendapatkan puncak pada peraihan
politik kekuasaan.
Secara historis, kelahiran NU dibidani Hadratus Syeh Hasyim Asy’ari dan
ulama-ulama terkemuka lain, tahun 1926. Salah satu tujuannya untuk melindungi
praktik dan pemikiran kegamaan muslim timur tengah, khususnya arab saudi, yang
puritanistik. Dari sini bisa disimpulkan, pendirian NU bukan untuk tujuan
politik kekuasaan, tetapi politik (keagamaan) kerakyatan. Maka, bagi umat Islam
Indonesia yang menginginkan pelaksanaan praktik dan pemikiran keagamaan dekat
dengan tradisi lokalnya, kehadiran NU dinilai memeberi perlindungan. Bila ini
bisa disebut tindakan politik kerakyatan maka politik jenis inilah yang patut
disebut tingkatan politik tertinggi NU. Politik kenegaraan belum muncul karena
saat itu (1926) dikursus tentang negara belum
ada.[26]
Posisi NU ketika berpolitik secara formal tampaknya bisa
dikategorikan sebagai lebih eksklusif,
dan menjadikan orang-orang NU tidak memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihan-pilihan politiknya sendiri. Wadah politik dan hubungan sosial dalam
wadah itu jelas sekali menunjukkan wataknya yang patronatif, yang sekaligus
mengekspresikan pola hubungan sosial yang terbangun mapan dalam komunitas NU.
Peran para tokohnya dalam politik sangat dominan sementara jama’ahnya
diorganisir dalam wadah NU kemudian diarahkan untuk memilih partai politik yang
dibangun dan dikendalikan oleh para tokohnya itu. Kondisi seperti ini
berlangsung baik pada saat NU bergabung dalam partai Masyumi, partai NU
sendiri, maupun berada dalam PPP, sehingga jelas yang diuntungkan secara
berkelanjutan adalah para tokohnya.[27]
Seiring kompleksitas perkembangan politik Indonesia, perjalanan
politik NU juga berkembang. NU mulai bersentuhan dengan politik kenegaraan
(kebangsaan), terutama menjelang dan pasca kemerdekaan. Persentuhan ini
merupakan pengaruh pergerakan nasionalisme dibeberapa negara yang bergerak
menuju kemerdekaan. Konstribusi politik NU yang paling jelas adalah dukungan
Wahid Hasyim, wakil NU pada PPKI, untuk tidak mencamtumkan piagam Jakarta di
dalam dasar Negara kita.
IV. ANALISIS
Dalam perkembangannya, Islam yang berkembang di Indonesia mengalami
kelunturan tentang ke ontetikan Islam itu sendiri. Dengan hal tersebut di
Indonesia membentuk suatu organisasi yang pada dasarnya yaitu mempertahankan
agama Islam yang murni seperti ajaran Islam pada waktu dibawa Rasulullah SAW. Di
antara paham-paham agama Islam di Indonesia tersebut yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama.
Dilihat dari kondisi sekarang, Muhammadiyah dan NU seolah-olah memiliki
perbedaan yang menjadikan masyarakat membeda-bedakan dan tidak ada kesatuan
antara mereka. Hal yang sering diperselisihkan tersebut di antaranya masalah
bacaan qunut dalam shalat subuh, kata sayyidina dalam sholawat, jumlah rakaat
dalam shalat tarawih, dan lain-lain. Padahal pada dasarnya mengenai aqidah
antara Muhammadiyah dan NU itu sama, yaitu mereka sama-sama berdasarkan
al-Qur’an dan Hadits. Persoalan yang
membedakan mereka sangatlah tipis, hanya
soal syari’at, tatanan dan aturan pelaksanaan syari’atnya saja yang beda. Atau
dengan kata lain, persoalan yang
membedakan mereka adalah cara-nya mencapai Dasar hukum Al-qur'an dan Hadist
tersebut.
Paham Muhammadiyah dan NU mempunyai ciri khas tersendiri dalam ajarannya, namun pada dasarnya
mereka tetap mempertahankan agama Islam yang murni. Muhammdiyah dan NU
merupakan 2 organisasi yang di sahkan oleh pemerintah sejak mereka lahir sampai
sekarang ini tidak sepert paham-paham yang lain. Hal ini terbukti dari ke
eksisan Muhammadiyah dan NU yang tidak ada penyimpangan agama Islam dalam
ajarannya. Mereka tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadis dalam mencari
solusi tentang masalah keagamaan, termsuk juga masalah hukum fiqh.
Kalau Muhammadiyah mengambil dasar hukum didahului dengan melihat Al-qur'an dan
Hadist dulu, apakah ada dalilnya, kalau tidak ada barulah menkaji dan
menganalogikan dengan dalil yang dekat dengan persoalan itu. Berbeda dengan NU,
Kalau ada persoalan di kaji dulu masalah itu dan kemudian dicari dalil hukumnya
dari berbagai tokoh ulama atau kyai, baru kemudian dilihat ke Al-qur'an atau
Hadist, tetapi kalau di buku-buku karangan kyai atau Ulama sudah cukup kadang
tidak terus mencari Al-qur’an dan Hadist.
Kalau secara
pergaulan dan cara kesaharian orang-orang NU dan Muhammadiyah, NU lebih
terkesan tradisional dan Muhammadiyah terkesan Modern. Secara organisatoris,
Muhammadiyah lebih banyak hidup dan besar di kota-kota, dan banyak membuat Amal
Usaha seperti:
1. Pendidikan
diantaranya: Sekolah Modern baik ditingkat TK, SD, MI, SMP, SMA dan Perguruan
Tinggi.
2. Kesehatan:
Rumah Sakit, Balai Pengobadan, Poliklinik, RUmah bersalin, Apotik daan lainya.
3. Keuangan dan
Ekonomi diantaranya BMT, Bank Syariah, Amal Usaha Ekonomi, Koperasi.
4.
Sosial
diantaranya Lembaga DIskusi dan lain sebagainya
Sedangkan NU
lebih berkembang di Desa, dan banyak membuat Amal Usaha Pendidikan seperti
Pondok Pesantren, Sekolah MI, MTs, MA, Perguruan Tinggi, Asrama-asrama santri,
Koperasi Santri dan Usaha amal Usaha lain.
V.
KESIMPULAN
Paham-paham agama Islam di Indonesia yang paling terkenal adalah
Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember
1912 M yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan. Jenis pemikiran Muhammadiyah bersifat filosofis dan teoritis.
Misi utama yang dibawa oleh Muhammadiyah adalah pembaharuan (tajdid)
pemahaman agama.
NU berdiri pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M pendirinya yaitu
KH. Hasyim Asy’ari. NU merupakan organisasi
yang bermotif dan berlandaskan keagamaan yang spesifik dengan haluan Ahl-Sunnah
wa al-Jama’ah. Tujuan
berdirinya NU yaitu untuk memelihara,
melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan
Ahlussunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu madzhab empat, serta untuk
memepersatukan langkah para ulama dan para pengikut-pengikutnya.
Posisi NU ketika berpolitik secara formal tampaknya bisa
dikategorikan sebagai lebih eksklusif,
dan menjadikan orang-orang NU tidak memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihan-pilihan politiknya sendiri. Wadah politik dan hubungan sosial dalam
wadah itu jelas sekali menunjukkan wataknya yang patronatif, yang sekaligus
mengekspresikan pola hubungan sosial yang terbangun mapan dalam komunitas NU.
VI.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan. Semoga memberikan
manfaat bagi pembaca dan juga pemakalah. Kami menyadari masih banyak kekurangan
dan kekeliruan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
makalah salanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Masyhur, NU & Ijtihad politik Kenegaraannya, Yogyakarta: AL-Amin,
1996
Amin,
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010
Daman,
Rozikin, Membidik NU, Yogyakarta: Gama Media, 2001
Ida, Laode. NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme
Baru. Jakarta: Erlangga. 2004
Mulkhan,
Abdul Munir, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam
Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1990
Muzadi, Abdul Muchith, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran,
Surabaya: Khalista, 2007
Nahdlatul
Ulama. Dinamika ideologi dan Politik Kenegaraan,. Jakarta. Kompas. 2010
Noer,
Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: PT
Pustaka LP3ES Indonesia, 1996
Pasha,
Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000
Solikhin,
M., Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Rasail, 2005
Tim
Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah malang, Muhammadiyah
Sejarah, pemikiran dan Amal Usaha, Malang: PT Tiara Wacana Yogya dan
Universitas Muhammadiyah Malang Press, 1990
[1] M. Solikhin, Sejarah
Peradaban Islam, (Semarang: Rasail, 2005), hlm. 156
[2] Deliar Noer, Gerakan
Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES
Indonesia, 1996), hlm. 84
[3] Musthafa Kamal
Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm.114
[4] M. Solikhin, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 156-157
[5] Abdul Muchith
Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, (Surabaya: Khalista, 2007), hlm. 24
[6] Musthafa Kamal
Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, hlm.
58
[8] Abdul Munir
Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 53
[9]Abdul Munir
Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial, hlm. 54
[10] M. Solikhin, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 157-158
[11] Rozikin Daman,
Membidik NU, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 54
[12] Masyhur Amin, NU
& Ijtihad politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: AL-Amin, 1996), hlm. 80
[13] Rozikin Daman,
Membidik NU, hlm. 54-55
[14] Masyhur Amin, NU
& Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 80
[15] Masyhur Amin, NU
& Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 85
[16] Masyhur Amin, NU
& Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 86
[17] Masyhur Amin, NU
& Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 87-89
[18] Masyhur Amin, NU
& Ijtihad politik Kenegaraannya, hlm. 90
[19] Tim Pembina
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah malang, Muhammadiyah
Sejarah, pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: PT Tiara Wacana Yogya dan
Universitas Muhammadiyah Malang Press, 1990), hlm. 117-120
[20] Abdul Muchith
Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 24-25
[21] Abdul Muchith
Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 35
[22] Abdul Muchith
Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 35-36
[23] Abdul Muchith
Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, hlm. 36
[24] Abdul Munir
Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), hlm. 82-83
[25] Abdul Munir
Mulkhan, Pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif
Perubahan Sosial, hlm. 84
[27]Laode Ida, NU Muda Kaum Progresif dan Sekularisme
Baru, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm.9-10